Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan di Balik Sarung

7 Mei 2010   04:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:21 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_135430" align="alignleft" width="234" caption="Laila, milikilah hati yang lebih indah dari tubuhmu"][/caption] Tanpa matahari takkan pernah ada pelangi. Dan bunga, takkan tumbuh mekar tanpa adanya duri. Sedangkan hati takkan pernah suci ketika dusta masih menghinggapi. ---- Apakah Laila benar-benar sudah menjadi wanita yang bertekad berubah, entahlah. Tetapi hari itu, saat Hasan sudah berada tepat di pintu depan rumah Mak Suh. Laila menyambutnya dengan wajah cerah. Yang sudah bisa dipastikan berubah hanya wajah yang sudah lebih lepas tersenyum dengan begitu merekah. Sedangkan Hasan nyaris hanya memasang wajah datar. Karena manusiawi, sekeras apapun hati seorang lelaki, setegar apapun jiwa seorang lelaki, tetapi ketika hati tersakiti ia bisa saja lupa pelajaran-pelajaran sekalipun dari Nabi. Pelajaran tentang seperti apa menyikapi istri. Beberapa jenak Hasan hanya duduk terdiam di tika bloeh (tikar pandan) yang terhampar di ruang tamu rumah Mak Suh, dengan menghembus kuat berkali-kali asap rokok merk baru yang tidak pernah dihisap Hasan sebelumnya. Di bungkus rokok itu bertulis Escort, nama rokok ini. Merk yang juga lumayan populer jelang pertengahan 80an di Aceh. Di lidah orang Aceh, khususnya Nagan namanya bisa berubah sebutan menjadi Esekod. Laila hanya terduduk sambil menekan-nekan lantai. Andai kulit wajahnya putih bersih pasti bisa terlihat wajah itu sedang bersemu merah. Apalagi ia sedang bertarung di dalam hati melawan resah, gelisah juga rasa bersalah. Hampir 20 menit kedua pasangan tidak serasi itu terdiam saja. Hening pecah hanya oleh suara motor CB 100 yang kebetulan lewat milik salah satu tetangga Mak Suh. Kemudian disela dengan munculnya Po Rohani, ipar Laila yang keluar sebentar hidangkan secangkir kuphi gampoeng (kopi yang ditumbuk dan diolah sendiri). “Anak kita bagaimana, e?” Laila lebih dulu membuka obrolan dengan menyebut anaknya bersama irama yang lebih mirip basa basi. Huffffft Hasan menghembus lebih kuat asap rokoknya. Timbul geram dan marah tapi dicoba untuk tekan. “Ramat sakit…” Terdiam. Jawaban cukup pendek dari Hasan yang sedang berjibaku dengan begitu beragam rasa membuncah di dadanya. Kecamuk marah dengan cinta, muak dengan rindu. “Tidak dibawa ke Guru Thayeb?” Tanya Laila ringan dengan menyebut tabib yang ada di desanya. Seorang tabib yang sering mengandalkan ramuan-ramuan alami untuk berbagai jenis penyakit. Beliau memiliki kemampuan bahkan untuk membebaskan warga yang teumamoeng (kesurupan). Sehingga nama lelaki itu lumayan di kenal di sana. “Sudah tidak apa-apa lagi sekarang. Sudah sedikit lebih baik…” “Syukurlah…” Hening. “Situ kenapa tidak cari lain waktu saya pergi? Kan banyak perempuan lain yang pasti mau menikah denganmu.” Pertanyaan yang membuat Hasan sempat terpikir untuk mengambil gelas kopi dan melempar ke wajah perempuan itu. “Kau kira aku laki-laki yang hanya butuh pukoe (kemaluan perempuan). Itu karena anak. Aku pikirkan anak-anak. Kalau bukan karena mereka aku tidak akan pikir panjang lagi, pasti aku cari lain. Apa yang bisa diharapkan dari perempuan sepertimu?!!!” Agak ketus suara Hasan. Meski dari tadi ia terus mencoba tekankan pada dirinya sendiri untuk bisa berkata lembut. Tapi memang sudah tabiat Hasan, tidak terlalu menguasai cara berbasa-basi. Terkadang apa yang dirasakan olehnya, itu juga yang dimuntahkan terus. Cuma kelebihan Hasan, ia jarang marah. Cuma kalau sudah marah, ia juga bisa semburkan kalimat-kalimat yang lumayan bisa bikin telinga orang memerah. “Kau kira, aku sepertimu?” Ujarnya sambil menggigit gerahamnya. Bisa lebih leluasa ungkapkan semua yang ada di pikirannya apalagi pemilik rumah sama-sama sedang keluar lewat pintu belakang. Sepertinya sedang ke rumah Cek Dolah yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.”Kau, demi laki-laki demikian mudah tinggalkan anak-anak.” Merengut. “Dasar perempuan hana the droe (tidak tahu diri).” Jarang Hasan mengumpat, apalagi untuk seorang perempuan.”Aku tidak berusaha mencarimu. Aku biarkan kau pergi sesukamu karena memang kau sendiri yang sudah putuskan untuk begitu! Dan aku ke sini bukan karena ingin mengemis agar bisa bersama-sama lagi dengan lonte (pelacur) sepertimu ini!” Hasan sudah tidak bisa menahan luapan marahnya. Walaupun cuma ia tumpahkan lewat kata-kata. Lebih baik daripada ia memilih untuk melempar gelas kopi yang ada di depan. Tercenung. Lalu mengatur napas yang sudah membuat dadanya terasa kencang kembang kempis. Di depan, terlihat istri Mak Suh sedang menuju ke rumah. Masuk kembali ke dalam lewat pintu depan tanpa menoleh ke arah pasangan yang sedang menyelesaikan masalah dengan caranya ini. Sebuah syarat yang di dapat dari Cut Ali sedang dijalankan. Iya, keluar lewat pintu belakang ketika tadi sekaligus ingin ke rumah Cek Dolah. Tetapi harus masuk lewat pintu depan. Ini merupakan syarat setelah mengambil selembar kertas jimat bertulis huruf Arab Jawoe (huruf Arab untuk menulis bahasa Aceh). Kertas yang kalau dibaca berisi: Bismillah ateueh nan Allah Bismillah keu roh Muhammad Bismillah keu sahabat Bismillah keu alam Meusahoe, meusahoe, meusahoe Lagee cut putroe, cut poe Fatimah Sajan lakoe Sayyidina Ali Hue tuboeh, hue badan Dengoen kalimah Laa ilaaha illallah. Kertas itu sudah dibakar dan abunya dicampur dengan kopi yang tadi sudah dihidangkan dan juga sudah diseruput nyaris tuntas oleh Hasan. Efek yang sudah terlihat sepertinya baru ke leher Hasan saja. Dalam arti beberapa kali lelaki yang sedang memaki istrinya untuk luapkan sakit hati berkali-kali terbatuk-batuk setiap selesai menyeruput kopi di depannya. “Jadi, Bang Hasan sudah tidak inginkan ku lagi? Kenapa juga memintaku pulang?” Laila memelas. Sekali lagi Hasan menarik napas panjang. “Siapa yang memintamu untuk pulang. Siapa yang inginkan kau???” “Sudah kubilang bukan? Aku ke sini karena diajak abangmu! Dan yang memintamu pulang itu Cek Dolah, Abang-abangmu. Bukan aku! Meuphoem?!? (paham,pen).” “Tapi…” Suara Laila terhenti karena kemunculan Cek Dolah dan Mak Suh. “Pakiban? (Bagaimana).” “Kalian sudah dapat jalan keluar atas masalah kalian? Ingat kalian punya 2 anak yang masih kecil-kecil. Anak itu tidak akan bisa tumbuh dengan baik kalau orangtua mereka tidak menyatu. Itu kheuen ureueng tuha (begitu kata orang tua: “katanya” versi ureueng Aceh).” Nasehat Cek Dolah tanpa mukaddimah atawa kalimat pembuka tapi keluar saja secara serta merta. [caption id="attachment_135445" align="alignright" width="300" caption="Doakan ibumu, Nak.."][/caption] “Aku sudah tidak dibutuhkan lagi, Cek! Bang Hasan tidak butuh aku. Mungkin dia ingin asuh sendiri Ramat deungoen Jannah.” Ujar Laila agak bernada terisak-isak, menyimpulkan sendiri semua yang tadi diucapkan Hasan. Suara Cek Dolah sudah lebih melunak daripada sebelumnya.”Jangan begitu Hasan, juga Laila. Kalian ingat anak-anak yang masih kecil. Anak-anak yang masih butuh kalian bisa bersama. Dulu, karena kebersamaan kalian maka anak-anak itu ada dan lahir ke dunia ini. Sekarang, untuk pertumbuhannya jika dibutuhkan kalian. Coba, coba jernihkan pikiran kalian. Bayangkan anak-anak kalian.” Hasan hanya ingat Ramat dan Laila sedang dalam asuhan Mak Keudee. Laila sudah sulit membayangkan seperti apa rupa dua buah hatinya yang jarang berada di hatinya. Dengan pengalaman Cek Dolah yang juga bagian dari aparat gampoeng di Jeuram. Kepiawaiannya membujuk kedua pasangan ini lumayan ampuh. Atau karena pengaruh neurajah (jimat) dari Cut Ali yang sudah diminumnya, entahlah. Jelasnya, Hasan mengangguk untuk rujuk lagi dengan Laila. ——– Pasangan itu sudah bersama lagi. Hanya saja terkait sikap Laila. Ia masih menjadi seorang Laila yang apa adanya. Ia masih menjadi perempuan dengan sikap yang ia suka. Masih dengan tabiat yang tidak jauh berbeda. Sore itu. Hasan pulang kerja. Segera ke meja makan. Meja yang biasa dipakai di sekolah dasar berbentuk segi empat agak panjang. Pemberian sepupu Geuchik Sani yang merupakan guru di SD desa itu. Hasan biasa makan malam saja di rumah, karena jika siang ia makan di warung dengan Haji Indah yang menjadi tokenya, selain karena memang tidak memungkinkan untuk dia bisa pulang siang. Sangee (penutup makanan) dibukanya dengan perut yang mulai perih menahan lapar. Gurat kecewa dan sedih terlihat kentara di wajah lelah itu. Di piring tidak didapatinya makanan. Melainkan uang saja 500 rupiah yang tadi pagi waktu hendak berangkat kerja diselipkan seperti biasa di bawah bantal istrinya. Hanya uang itu yang diletakkan di piring lelaki yang sedang di dera lapar yang amat sangat ini. ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun