Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Pelajaran Hidup dari Sebuah Sejarah Perang

23 April 2010   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_125120" align="alignleft" width="300" caption="Berikan senyum saat perang berjalan agar anda disebut figur lembut, pedang lawan justru terayun ke lehermu. Inilah yang disebut ketololan."][/caption] Lelaki itu bergulat dengan musuhnya mati-matian. Keringat mengucur di tubuhnya menyatu dengan darah yang muncrat. Pedang yang diayunkan terlihat juga penuh dengan darah. Setelah beberapa saat bergumul, ia bisa menjatuhkan lawannya. Sebuah keunikan terjadi, persis sesaat akan mengayunkan pedang ke wajah lawan. Semburan ludah mengenai wajahnya, dilakukan sang lawan sebagai penghinaan terhadap diri lelaki itu. Ketika itu juga lelaki ini membatalkan menghabisi nyawa musuhnya itu. Dan itu adalah cerita tentang seorang lelaki dengan nama Ali bin Abi Thalib. Awalnya ia melawan musuhnya karena niat membela agama Tuhan, dari sana ia berani mengayunkan pedangnya. Tetapi ketika lawan sudah tidak berdaya, ia urungkan untuk membunuhnya justru ketika ludah musuh mengenai wajahnya. Ini cerita kehati-hatian. Betapa seorang manusia yang percaya dengan Tuhannya, saat Tuhannya diremehkan manusia, ia dengan gagah mengayunkan pedangnya. Tetapi saat dirinya sendiri dihina, ia rela memaafkan musuh. Di sini ada pemilahan tegas. Atas dasar apakah sebuah kemarahan? Sekarang, tidak sedikit mereka yang tidak percaya Tuhan mengeluhkan manusia-manusia yang berperang. Alasan berperang karena Tuhan dianggap hanya sekedar alasan. Marah karena Tuhan, dianggap sebagai alasan yang mengada-ada. Sebagian lagi, menyebutkan untuk apa membela Tuhan, toh dengan membela Tuhan tidak akan mengurangi kemahabesaran Tuhan. Untuk membuktikan seperti apa mereka ini. Sebaiknya memang temui saja berhadapan. Semburkan ludah ke mukanya atau pada orang-orang yang dicintainya, bapaknya, ibunya. Selanjutnya minta maaf. Jika memang orang tersebut bisa maafkan, dia layak disebut manusia luar biasa. Nah, bagaimana dengan manusia lain yang percaya pada Tuhan? Seseorang yang mengagungkan-Nya tidak akan pernah diam ketika Ia dihina oleh kotoran-kotoran bermulut. Tuhan memang tidak membutuhkan pembelaannya. Tetapi ucapan cinta pada Tuhan juga diuji dengan tindakannya. Tidak lantas ketika Tuhan dimaki, mereka bisa maafkan dan dengan mudah diam diri, sedang ketika bapak ibunya terkena semburan ludah, baru mereka berteriak-teriak serupa anjing dilempar sandal. ------ Kelembutan dengan pengecut sama sekali jauh berbeda. Gegerkalong, 23 April 2010 Sumber Gambar: Eramuslim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun