Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Palu Lelaki Tuli

15 Januari 2010   07:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_54429" align="alignleft" width="300" caption="Kau adalah pahlawan ketika kau tak pernah menghitung jumlah keringatmu (Fickar10. Gbr: Google)"][/caption] Semoga engkau tak pernah menjadikan keringat sebagai bahan hitungan untuk pelajari matematika. Karena cinta tidak membutuhkan angka. Pernah, aku mendengar lelaki yang bernyanyi tentang luka dan beban hidup. Tetapi nyanyian itu tidak untuk diperdengarkan pada dirinya sendiri, pada nurani. Justru dilantunkan hanya untuk membuat dunia akan iba padanya. Juga sering aku melihat, para lelaki yang sedang mengambil bulir-bulir keringat dari kening dan dadanya lalu menghitungnya. Dilakukan sekedar agar ia disebut sebagai pahlawan oleh istri, anak dan para tetangganya. Dan aku menerjemahkan itu bukan sebagai cinta. Pernah, beberapa lelaki lain mencoba mengajak berbicara, seperti apa keniscayaan yang harus diperankan oleh lelaki di atas sebuah panggung yang didekorasi pertama sekali oleh Tuhan. Bahwa semua lakon itu harus dipelajari dengan baik. Melihat dengan jernih semua dekorasi yang ada. Pilihan di sana, juga bisa menambah atau mengurangi bentuk panggung. Tetapi, jangan coba untuk mencerabut paku-paku yang dipalu untuk ketahanan panggung itu. Sepertinya mereka tuli. Karena sering juga kuperhatikan, secara diam-diam mereka memegang pencabut paku, hanya untuk disebut pemberani. Disebut revolusioner. Padahal kehancuran tak pernah lebih indah dari semua yang pernah ada. Beberapa kali aku meminjam palu dari tukang-tukang bangunan, tidak untuk membuat semua paku itu lebih kuat di tempatnya. Tetapi kupilih untuk ketukkan ke kepala mereka yang cuma menjadi perusak. Terkadang, entah karena aku hanya mengayun pelan, palu yang kuarahkan ke kepala mereka, nyaris tak terlihat olehnya. Beberapa orang berhasil kubuat pingsan. Lalu, palu itu kukembalikan saja pada tukang bangunan yang meminjami perkakas itu. "Kenapa kau kembalikan pada tukang bangunan itu, bukankah lebih baik engkau kuatkan dulu paku-paku yang sempat nyaris dicerabut lelaki yang kau palu tadi?" Setalah menyeka beberapa butir keringat yang tak kuhitung, kukatakan saja,"pukulan tukang bangunan ini di semua paku itu jauh lebih berirama, lebih indah untuk kudengarkan. Karena aku juga berkeyakinan, tukang bangunan ini lebih mengenal keindahan daripada aku sendiri." "Kau tidak bangga jika kau disebut sebagai orang yang berjasa oleh pelaku lakon lain yang juga bermain di panggung itu nanti?" "Kebanggaan itu kukira bukan pada penyebutan apapun, tetapi yang lebih penting dari itu apa yang bisa kulakukan. Kemudian, seberapa mampu pukulan dari palu yang kupinjam itu bisa membuat orang-orang yang kupukul jatuh itu benar-benar sadar setelah pulih dari pingsannya. Meski aku dikatakan tolol. Aku tidak butuh berpikir terlalu dalam, jika dengan berpikir dalam membuatku tidak bisa melakukan apa-apa." "Lalu bagaimana jika pukulanmu malah membuat lelaki tadi itu menjadi tuli." "Menjadi tuli yang sebenarnya lebih baik untuk lelaki seperti itu. Daripada ia berpura-pura tuli, hanya membuat kita lelah berbicara saja." Aku selalu menjawab pelan pada beberapa sahabat yang membuka lebar telinganya seperti ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun