Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meunasah, Mesjid ala Aceh yang Hilang

13 Agustus 2010   17:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:03 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_225377" align="alignleft" width="261" caption="aleh, ba, ta, gampoeng-ku sudah tidak bersisa (Gbr: googleimages)"][/caption] Siapa nyana sebenarnya banyak sejarah terlahir di Meunasah. Dari sana, jangeuen (nyanyian) Prang Sabi, syair penggugah semangat perang pernah membakar jiwa ureueung Aceh untuk maju menghantam kolonial Belanda dan dari sana juga, semangat keislaman ureueng Aceh kian menguat dengan pengajian rutin dengan teungku-teungku gampoeng yang mengajar tanpa bayaran. Tempat ibadah itu memang disebut dengan meunasah. Bahkan meunasah jauh lebih akrab di dalam pembicaraan dan hati ureueng Aceh. Tetapi itu dulu, ketika Islam masih tegak tanpa kepentingan politis dan tanpa perlu menghiba mengemis kiri kanan sekadar untuk bisa menerapkan syariat Islam. Apalagi Islam sudah menjadi ruh masyarakat di sana. Sekarang? Meunasah sudah jarang jadi bagian obrolan, dan jadi tempat obrolkan masalah-masalah pengetahuan keislaman dan masalah ummat. Justru, meunasah-meunasah di gampoeng kerap saya lihat dengan mata kepala sendiri diisi oleh kambing yang tumpahkan kencingnya sembarang tempat. Entah ini isyarat bahwa binatang yang sering dijatahkan untuk hewan kurban dan aqiqah itu jauh lebih merasa terlindung dengan rumah ibadah itu, wallaahu a'lam. Semasih di Aceh. Acap sekali saya jejakkan langkah untuk sambangi banyak gampoeng, dan salah satu hal yang kerap saya amati jika berada di satu gampoeng, pasti meunasah. [caption id="attachment_225382" align="alignright" width="300" caption="Meunasah gampoeng, ka hana lee (Gbr: Googleimages)"][/caption] Terkadang, saya menatap miris, ketika waktu shalat tiba malah tidak terdengar suara azan. Sampai timbul di pikiran, apakah sudah tidak ada yang hafal lafal azan? Atau karena memang meunasah tidak sekeramat Masjidil Haram di tanah Nabi? In juga tidak terjawab. Pandangan mata saya hanya melihat ke ladang-ladang penduduk yang memang berada jauh dari gampoeng, pilihan melihat untuk tidak dini menuduh mereka sudah lekang dari keislamannya. Sambil berharap, nanti ketika magrib tiba saat mereka sudah pulang dari ladang, meunasah itu akan terisi penuh dengan penduduk gampoeng yang shalat berjamaah. Tetapi, selanjutnya angan-angan itu tidak menemukan jawaban sejalan dengan yang ada dalam bayangan. Bisa jadi sepulang dari ladang yang begitu jauh, maka akibat kelelahan, magrib juga terlewati, meunasah kosong melompong. Tidak berhenti di satu gampoeng kusaksikan itu. Karena kaki ini masih cukup kuat untuk merambah banyak gampoeng meski terkadang harus meniti jembatan yang melintas sungai yang hanya berupa seutas kabel. Dan saya berada di banyak gampoeng lainnya, keseiramaan itu timbul. Jadi terbetik dengan beberapa lembar buku sejarah yang pernah saya baca, dulu ulama-ulama dan muballigh datang ke tempat-tempat yang bahkan tidak dikenal orang. Tetapi entah kaki muballigh sekarang tidak sekuat muballigh dulu, maka kalau tidak dijemput dengan mobil yang bermesin baik dengan bentuk yang 'enak' dilihat takkan ada gampoeng yang terjamah. Ah, semoga ini hanya sangkaan burukku saja. Ketika beberapa hari berada di luar tanoeh Aceh seperti sekarang. Kerap pula kubayangkan, seperti apakah sekarang meunasah-meunasah itu. Adakah taraweh yang dilakukan di sana? Adakah teungku gampoeng yang ajarkan membaca alif ba ta di lantai dengan tikar yang tak seindah karpet dari Turki di meunasah? Entahlah, belum ada SMS masuk ke seluler tuaku yang kabari meunasah gampoeng. Mungkin, memang sinyal dari sana sedang tidak bagus.(ZA) Jakarta, 14 Agustus 2010 ------------------------- Satu lagu yang saya gemari yang mengobati kerinduan saya pada Nanggroe tercinta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun