Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merekam Lampung

10 Februari 2010   17:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_71929" align="alignleft" width="300" caption="Bandar Lampung, kota indah dan ramah (Gbr: Google)"][/caption] Terpukau. Iya, ini pertama sekali saya berkunjung ke Kota Lampung. Bertemu rekan-rekan Kompasianers Lampung, rekan-rekan yang begitu low profile, ramah dan selalu memancarkan inspirasi. Mas Firman Seponada, Bang Imam Subari, Bang Mamat menjadi figur yang pertama sekali saya lihat, jabat dan bercanda setiba saya di propinsi indah itu (7/10). Berkisar jam 21.30 ketika pertama sekali saya tiba di Bundaran Rajabasa. Setelah, dari sejak jelang sore Mas Firman menelpon dan SMS saya untuk memberitahukan ke beliau kalau saya sudah tiba di Lampung. Di sana, dekat pos polisi, tiga crew Lampung TV tersebut menunggu saya yang sempat dibuat bengong oleh 2 tukang ojek yang menunjukkan sikap dan gelagat kurang mengenakkan. Iya, setelah 3 hari 3 malam dalam perjalanan dari Medan, kondisi fisik yang begitu letih--tentu dengan kondisi pikiran yang juga sedang tidak dalam kondisi prima--, sambutan yang lebih dulu dari 2 tukang ojek tersebut memang membuat saya bingung karena sapaannya yang 'aneh': "Ini ya yang nelpon kemaren akan datang berkunjung kemari, ayo naik saja nanti saya antarkan ke tempat." Ujar salah satu tukang ojek yang berdiri persis di pintu bis Pelangi yang saya tumpangi. Nyaris saya terkecoh karena dari wajahnya, tukang ojek tersebut rada mirip  Mas firman Seponada. Tetapi, coba berpikir cepat, saya pelototi mata tukang ojek ini,"ini bukan mata Mas Firman." Gumam saya yakin dalam hati sambil membetulkan letak kacamata untuk bisa melihat lebih dalam lebih terang--bahasa hipnoterapis--. Bergegas saya ayunkan kaki untuk berdiri di sebuah toko yang sudah tutup, langsung melongok ke HP dengan niat untuk menghubungi Mas Firman. Sambil mencoba melihat bilboard pasta gigi yang berada di samping kiri saya, setidaknya untuk lebih memudahkan Mas Firman Cs untuk mendeteksi keberadaan saya. Belum 2 kata saya ketik SMS,"Halo, Bang Zul," Mendengar panggilan Bang dari Mas Firman mengundang nafsu saya menggerutu dalam hati sambil memuji diri,"masih muda dan ganteng begini muasak dipanggil Bang? Argghhh:" Pikir saya menyela. "...Sudah dimana, Bang?" Masih dengan menyebut "Bang" "Iya, saya sudah di depan toko (menyebut nama toko tersebut yang kesulitan saya baca karena warna tulisan yang sudah tidak jelas)." "Okey, kami di dekat Pos Polisi, segera ke sana." Tak lama, seorang lelaki dengan senyum sumringah sudah berada di depan saya. Kumis khasnya dan mata ala Vietnamese ini meyakinkan saya, ini dia Mas Firman yang selama ini menjadi saudara maya saya, sekarang sudah berada persis di ujung hidung saya. Bersalaman, mengambil ransel dan tas sepatu saya. Langsung saja saya ayunkan kaki ke mobil yang bertulis Lampung TV di belakangnya. Di dalam, seorang lelaki dengan kepala mirip tokoh Alien di televisi sedang duduk dengan melipatkan kedua tangannya--karena memang tidak berambut--, melempar senyum ke arah saya. Tentu, senyumnya juga saya balas dengan mencoba mereka-reka,"siapa gerangan beliau ini?" Sempat nyaris yakin kalau ini adalah Bang Imam Subari, namun dengan potongan rambut yang memang bisa tegas disebut plontos membuat saya ragu. Ketika mobil sudah mulai berada persis di depan sebuah warung bakso, baru saya teryakinkan jika ini adalah benar sebagai orang yang 'nyaris' saya yakini sebagai Bang Imam Subari. Tadinya agak ragu selain karena bentuk kepala yang memang sedang tidak 'dipenuhi rumput'  juga karena ekspresi wajahnya jauh  lebih berisi dan lebih tegas dari photo profil yang dipakainya di Kompasiana. Melihat tampang asli Bang Imam Subari lebih mirip karateka, atau juga bisa dikatakan mirip dengan pemeran tokoh-tokoh antagonis di film-film cerita pengedar narkotik. Melihatnya saya sempat membatin,"kalau ingin untuk berjalan-jalan dengan Bang Bari (sebutan beliau), saya yakin perjalanan itu akan aman dari perampok atau dari teroris, karena jelas fisik dan gurat tegas di wajahnya itu tidak kurang dari teroris." Untung suara dalam hati itu tidak di dengar Bang Bari, kalau sempat didengarnya barangkali saya tidak akan ditraktir bakso malam itu. Masuk dalam warung tersebut, ngalor-ngidul lagi dengan mereka. Cerita tentang karakter Kompasiana, kesan-kesan tentang tulisan yang selama ini muncul di Kompasiana dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Kompasiana menjadi bahan pembicaraan. Sampai jelang tengah malam, roda mobil mengarah ke rumah 'Tukang Pijat' yang dengan keajaiban bak Negeri Seribu Satu Malam sebenarnya telah menjadi seorang pengusaha ternama di Bandar Lampung. "Tidak apa-apa kita agak larut mengetuk rumahnya, karena Pak Dody (Nama asli 'Tukang Pijat' tersebut) juga seorang 'Batman' (manusia kalong)." Ujar Mas Firman. "Iya, ini memang kelebihan memiliki teman-teman sesama Batman." Ujar saya menjawab Mas Firman. Sampai dalam rumah, berbicara lagi, Tukang Pijat menjadi narasumber utama--lagipun karena di rumahnya--, sedang saya dan rekan-rekan tadi hanya menjadi pendengar. Ia berbicara dari persoalan yang selama ini sering menjadi bahan perdebatan di Kompasiana sampai dengan kondisi kekinian di republik ini. Melihat Bang Mamat mulai terlihat mengantuk, segera Bang Bari minta undur diri. Segera, saya juga melemparkan barang-barang bawaan saya ke kamar yang sebenarnya menjadi 'hunian' Rahadian Suadi yang menjadi Patih dari Tukang Pijat tersebut. Yakin, saya sedang tidak terlalu terganggu dengan kelelahan. Akhirnya membuka obrolan lagi dengan Pak Dody sepulang Mas Firman, Bang Bari dan Bang Mamat. Setelah berkisar 1 jam, persis jam tangan saya menunjuk angka 1 malam, sepertinya Pak Dody mafhum mata saya yang mulai tidak bisa kompromi,"iya, silahkan Zul tidur dulu." Dalam hati saya teriak kegirangan, akhirnya saya bisa baringkan badan setelah perjalanan 3 hari 3 malam yang melelahkan itu. Senin, Selasa, Rabu. Senin siang, saya berkesempatan untuk berjalan-jalan keliling kota Bandar Lampung yang saya akui lebih "wah" daripada Aceh, sedang pada Selasa dan Rabu nyaris tidak kemana-mana. Selain kunjungan Kompasianer baru, Thomas Prasasti yang berkunjung juga ke rumah Tukang Pijat untuk saya kenalkan pada pemilik rumah. 6, 5 jam saya bicara dengannya, jelang jam 11 Thomas mohon diri untuk pulang. Selanjutnya, Setelah memberitahukan pada Mas Firman dan Bang Bari lewat SMS sebelumnya tadi siang Saudaraku, besok siang saya ke Jakarta. Langsung, Rabu sore tadi saya terima telpon dari Mas Firman, "...nanti malam kami akan main ke sana (rumah Pak Dody, Pen)." [caption id="attachment_72010" align="alignleft" width="300" caption="bersama sahabat tercinta, Imam Subari dan Firman Seponada"][/caption] Beberapa jam saya menunggu dari sejak lepas Magrib "Halo, kami sudah berada di depan rumah," demikian suara tegas di balik telpon yang terdengar dari HP Samsung j610i milik saya. Menyambut kedatangan rekan-rekan ini. Usai berbicara sebentar di dengan empunya rumah yang suka memperkenalkan diri sebagai Tukang Pijat itu. Mas Firman menegaskan untuk menculik saya, dan saya juga dengan senang hati untuk di culik. Karena penculikan itu tidak seperti khas film-film yang bercerita tentang orang-orang berwajah sangar, namun ini adalah cerita penculikan yang dilakukan dengan aura persaudaraan yang begitu tinggi. Sempat singgah sebentar di salah satu warung pinggir jalan dekat Kantor PWI di Jl Letjen Sutiyoso. Memperhatikan kepiawaian Bang Bari, bercerita tentang agama dan politik dengan nasi yang masih tersumpal di mulut. Ini sebuah kelebihan yang tidak semua orang bisa. Mengingat suaranya sama jelas dengan saat ia bicara tanpa apa-apa di mulutnya (pengakuan jujur untuk Bang Bari hehe). Dari 3 hari saya di Lampung ini, berbagai kesan luar biasa terpatri kuat di benak saya--nyaris seperti dipaku di kepala saya--, betapa meski saya berusia jauh lebih muda dari Pak Dody, Mas Firman dan Bang Bari. Namun, irama persahabatan dan persaudaraan sangat kental terasakan, ini sekali lagi merupakan sebuah kesan yang teramat sulit untuk terlupakan (dan memang tidak ada niat untuk melupakan semua kebaikan sahabat-sahabat ini). Malam ini, jelang berangkat saya ke Jakarta besok siang. Di Lampung TV, saya, Bang Bari dan Mas Firman sempat bernarsis ria di ruang studio. Lampung, I love this moment, so much. Terima kasih untuk saudaraku Pak Dody Purbo dan Istri, putri cantik beliau Putri Ayu Lestari, Mas Firman Seponada, Bang Imam Subari, Bro Thomas Prasasti juga Bang Mamat. Semua kebaikan sahabat tidak akan pernah sanggup saya balas dengan yang setimpal, tetapi saya yakin Allah SWT selalu lebih kuasa membalas semua kebaikan itu dengan rahmat dan berkah yang jauh lebih berharga dari yang bisa saya berikan. Sebenarnya banyak hal yang belum saya rekam dalam tulisan kecil ini, namun ke depan saya berjanji untuk menulis lebih kompleks tentang semua yang saya lihat di kota indah ini. Stasiun Lampung TV, 11 Feb 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun