Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mereka Mengendus, bukan Mendengar

9 Oktober 2010   02:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:35 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_283627" align="alignleft" width="300" caption="Gbr: rumahdunia.com"][/caption] Ketika hidup menampar kepalaku, tidak serta merta meruntuhkan reranting ketololan yang ada di dahan pikiranku. Sama sekali tidak mirip dengan beberapa pohon yang dulu pernah kulihat di sawah kampungku, ketika petir datang dan bertindak seperti algojo yang tidak pernah mengenal keramahan. Aha, dulu ada ketakutan memang atas tangan-tangan kehidupan yang mungkin akan menampar kepalaku. Padahal itu juga hanya bisa rontokkan beberapa gigiku saja, membuatku sedikit sulit untuk bicara. Hanya itu. Iya, memang, tanpa adanya gigi, terkadang rasa rendah diri itu terkadang muncul seketika saja. Rasa yang sulit untuk diusir meski sudah kucoba mengambil gagang sapu seperti sering kulakukan saat ayam tetangga masuk ke rumah, semasih di kampung. Nah, ketika sedang tidak bisa berbicara seperti itu, aku merasa Tuhan memang sedang tidak ingin aku berbicara. Mungkin tujuan-Nya baik, entah mungkin supaya bau mulutku tidak tercium orang-orang. Atau bisa juga karena memang Ia ingin agar tidak ada yang terganggu. Cuma, adakala juga, kebebalan membuatku mencoba membuatku lancang saja buka mulut, yang terjadi mereka yang berada di hadapanku malah muntah-muntah yang juga membuatku ikut mual. Aku sendiri selanjutnya merasa tidak tenang berjalan. Timbul kasihan, betapa niat awal karena ingin berbicara agar bisa bersahabat tapi tidak membuat mereka membuka telinga selain hanya mengendus terlebih dahulu. Maka wajar, jika kemudian malah mereka tidak mendengar apa yang kubicarakan. Terhalang. Iya, karena mengira, lelaki tak bergigi hanya bisa menebar aroma mulut yang busuk laiknya aroma mayat sisa dimakan anjing. Sebentar, aku sedang mencoba menambal gigi-gigi yang tanggal dan berlobang itu. Nanti, kalau memang sudah sempurna bentuk gigiku, bau nafasku pun sudah lebih membuat mereka nyaman, pasti aku akan bicara lagi. Itu juga kalau diminta. Sekarang? Yang ada di pikiranku hanya mencari jalan, mulutku tidak membuat mereka muntah-muntah. -------------- Jakarta di tengah asap hitam knalpot di jalanan, 91010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun