Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Meraba Pertarungan di Mahkamah Konstitusi

13 Agustus 2014   09:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:40 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14078706041283913286

Teka-teki ekspresi pengacara (Gbr: Zulfikar Akbar)

Jika pernah menyaksikan arena sabung ayam, di sana tak hanya kekuatan taji yang akan teruji. Melainkan, ketangguhan fisik ayam, hingga kegesitan yang mampu ditampilkan oleh masing-masing ayam yang diadu. Taji yang kuat tanpa tenaga mendukung, cenderung lebih mudah dibuat terkapar oleh ayam lawan.

Ya, di masa kecil saya sendiri, acap memiliki kesempatan melihat bagaimana ayam diadu. Sebelum diadu, masing-masing pemilik ayam itu sudah melakukan berbagai persiapan. Dari meruncingkan taji ayam miliknya dengan menggunakan beling, hingga memberikan ramuan tertentu agar ayamnya lebih bertenaga.

Tidak ada peraturan serius dalam pertandingan itu. Jika penantang dan yang ditantang sepakat, maka ayam dengan tubuh lebih kecil bisa diadu dengan ayam lebih besar. Seperti juga ayam bertaji lebih runcing, bisa bertanding dengan ayam bertaji seadanya.

Pemilik ayam dengan taji lebih panjang dan lebih runcing, biasanya lebih terlihat percaya diri. Entah karena mengikuti tuannya, ayam bertaji lebih runcing tadi, cenderung terbawa seakan juga lebih percaya diri. Itu terlihat dari geraknya sebelum lawan tiba, hingga kokoknya yang seakan pasti mampu melumpuhkan ayam lawan dalam sekali terjang.

Tapi, arena untuk sabung ayam itulah yang menjadi penentu.

Tak jarang saya menyaksikan, ayam berbadan cenderung gemuk dan berotot tergeletak menggelepar. Padahal ayam itu sudah didukung lagi dengan taji yang diruncingkan dengan beling. Itu terjadi, tak lebih karena ayam rivalnya, meski berbadan kecil, namun memiliki keunggulan di sisi stamina dan kegesitan. Kecil, namun mampu melakukan lompatan yang mampu menjangkau hingga kepala dan mata lawan.

Jika taji sudah menghantam kepala atau mata, tak ada celah untuk ayam sebesar apa pun untuk bisa berbuat banyak. Dengan dua-tiga pukulan dari ayam berbadan lebih kecil, maka ayam besat tadi benar-benar dilumpuhkan.

Ya, itulah yang melintas di pikiran saya saat menyaksikan sidang sengketa Pilpres 2014 sejak pertengahan pekan lalu.

Sebab ada kemiripan di sini. Walaupun di ruang sidang yang diadu bukanlah otot. Melainkan, di sinilah mereka menguji taji dalam bentuk lain; bukti, kekuatan bukti, dan sejauh mana bukti-bukti bisa dipercaya.

Para kuasa hukum menguji taji dalam bentuk pikiran dan argumen. Sementara hakim di sini berperan untuk melihat, meraba, merasa, menganalisis kekuatan dan kebenaran dari semua yang mereka sampaikan. Jika ada hal yang membedakan lainnya dibanding sabung ayam, bahwa di sinilah terdapat peran hakim. Jadi bukan pada kekuatan fisik siapa bisa melindas siapa, atau ketajaman taji siapa bisa melumat lawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun