[caption id="attachment_109752" align="alignleft" width="300" caption="Syarat paling utama menjadi jurnalis: waras"][/caption] Darah mengalir dari sela-sela paha. Menetes tetapi bercampur dengan tinja dan dijadikan tinta.
***
Secara tiba-tiba pikiran saya terbawa pada masa awal konflik Aceh memanas. Ketika Prof. Shafwan Idris, Rektor IAIN Ar-Raniry harus pulang ke pelukan Tuhan sekitar 10 tahun silam. Media-media yang ada begitu getol bicarakan itu. Nyaris saban hari kasus pembunuhan terhadap ulama yang begitu dikagumi masyarakat Aceh itu dikupas oleh berbagai koran bahkan televisi dan radio tidak ketinggalan. Sayangnya, selain menyayangkan terjadi pembunuhan itu. Terjadi pemerkosaan, iya sebuah pemerkosaan yang dilakukan oleh jurnalis sendiri. Entah sekedar untuk menghemat tinta, hingga untuk pelaku yang awalnya jelas disebut-sebut penembak misterius. Lambat-laun dipendekkan, menjadi petrus. Bahasa yang telah diperkosa mereka. Tidak itu saja, tetapi nama manusia dan nama yang begitu dekat dengan sebuah agama juga ikut diperkosa. Bukan tanpa kesengajaan. Saya yakin sekali pemendekan itu dilakukan secara sengaja. Logika saya sederhana saja, seorang jurnalis ketika menulis tentu dia menulis dengan sadar. Dan kegiatan menulis memang hanya bisa dilakukan secara sadar. Orang-orang gila, pingsan dan tidur jelas tidak mungkin bisa menulis (tidak tahu kalau orang gila tersebut adalah seorang profesor).
***
Nah, sesuatu yang ditulis dengan sadar idealnya melibatkan rasa, melibatkan pikiran juga dengan sadar. Tetapi saya justru sering ngedumel sendiri. Apakah saat memendek-mendekkan seperti itu, jurnalisnya sadar atau tidak? Atau mungkin karena merasa terlalu cerdas, terus merasa tidak perlu lagi banyak membaca sampai tidak tahu "petrus" tersebut memiliki hubungan dengan apa saja. Lagi, terkait kasus aktual, Gayus Tambunan dan beberapa kasus yang mirip lagi. Kembali nama manusia dilengketkan pada penyebutan sebuah hal yang tidak mengenakkan. Makelar kasus yang kemudian juga dipendekkan menjadi "markus." Saya kira, saat berhubungan dengan nama manusia, maka itu juga memiliki keterhubungan dengan soal harga diri manusia. Saya kira pemilik nama Markus di negeri ini tidak sedikit. Kadang saya curiga, apakah jurnalis yang gemar menyingkat-nyingkat seperti itu dulunya merupakan anak manja. Sehingga yang dipikirkannya hanyalah membuat sesuatu menjadi sesimpel mungkin. Syahdan, nama manusia juga dipleset-plesetkan sedemikian rupa. Dan sekeyakinan saya, semua yang waras akan sangat menghargai nama. Semoga saja, ke depan hal-hal yang "tidak sepele" ini betul-betul terperhatikan oleh jurnalis negeri ini. Terinspirasi nama seorang sahabat di kompasiana. Sumber Gambar: Nyoe Pat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H