[caption id="attachment_347613" align="aligncenter" width="430" caption="Perempuan proaktif (Gbr: Atjeh Post)"][/caption]
Terdapat sudut pandang menarik yang pernah diutarakan sastrawan Brasil, Paulo Coelho, yang bisa dikaitkan dengan topik apa saja. Ia mempertanyakan, kenapa berbagai masalah serius cenderung mengedepankan perspektif maskulin, atau hanya lewat mata lelaki?
Itulah yang sempat terbetik di pikiran saya, ketika pada Jumat (6/5) hadir di Bank Indonesia, di acara diskusi bertajuk "Ramadhan Harga Stabil". Sebab, mau tak mau, harus diakui, untuk masalah yang berhubungan dengan inflasi sekalipun, pendekatan yang muncul acap maskulin.
Sesuatu yang maskulin, menurut Coelho, tak selalu berbentuk berbagai hal yang dilahirkan oleh manusia berjenis kelamin lelaki. Perempuan, bisa saja maskulin, jika sudut pandang yang ia gunakan tak berbeda jauh dengan kecenderungan lelaki. Seperti halnya lelaki, tak selalu identik dengan maskulin.
Bagaimana mengaitkannya dengan persoalan pengendalian harga barang atau inflasi? Ya, bisa saja mendudukkan perempuan sebagai bagian penting di tengah persoalan itu. Di sisi lain, benar-benar menghubungkannya dengan nilai dalam  pendekatan penyelesaian masalah tersebut.
Mendudukkan perempuan sebagai bagian penting, artinya tentu saja melihat secara eksplisit bahwa cerita soal harga memang tak lepas dari mereka.
Dengan sudut pandang ini, bisa dilihat perempuan sebagai bagian dari pemain utama yang bersentuhan langsung dengan masalah itu. Entah mereka sebagai perempuan karier, hingga ibu rumah tangga. Dalam hubungan jual beli, besar dan kecil, tak bisa ditampik bahwa perempuan cenderung lebih banyak terlibat.
Kebutuhan perempuan akan lebih besar di tengah pusaran masalah harga tersebut. Sederhananya, jika lelaki hanya membutuhkan satu kemeja seharga Rp 100 ribu, maka pengeluaran perempuan akan lebih besar. Mereka bisa saja memiliki pengeluaran 5-10 kali lipat dibanding laki-laki. Ini jika mengaitkannya dengan pemandangan sederhana.
Misal saja, untuk pakaian, saat lelaki cukup dengan satu kemeja, maka perempuan akan membutuhkan tak sekadar sehelai baju. Mereka masih memiliki kebutuhan pakaian dalam yang bisa dipastikan lebih mahal dari lelaki, hingga kerudung--untuk perempuan muslim.
Maka menggali seperti apa perempuan melihat masalah lonjakan harga, layak untuk lebih mendapatkan perhatian. Jika ada teori bahwa satu kepak sayap kupu-kupu di belahan dunia lain, berpengaruh pada badai di belahan lainnya, maka tak berlebihan menyebut perempuan mampu menciptakan dampak atas badai harga.
Apalagi jika mengaitkannya lagi dengan fakta terdekat yang terjadi di Indonesia. Jangan lupa, tak kurang dari 60 persen perempuan Indonesia bahkan menjadi tulang punggung keluarganya. Baik mereka sebagai ibu rumah tangga tanpa suami (janda), atau bahkan sebagai anak. Hal itu pernah diangkat Petani Perempuan-Serikat Petani Indonesia. Tepatnya di acara konferensi Internasional "La Via Campesina", yang berlangsung di Jakarta, tahun lalu.