Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malangnya Punya Nama

19 Agustus 2010   08:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_231778" align="alignleft" width="300" caption="Jika orang berjalan untuk cari nama, kita jalan saja dengan tidak menutup mata atas sekian banyak lobang yang mungkin malah pernah kita gali sendiri (Gbr: Googleimages)"][/caption] Pernah lihat orang-orang yang punya nama? Syukurlah. Anda punya nama? Saya juga punya jika nama yang dimaksud adalah sekadar sebutan untuk tidak salah panggil atau karena alasan biar tidak salah orang. Sebab soal salah panggil bisa berisiko jika ternyata malah yang datang adalah anjing herder milik tetangga, berisiko rabies dan mati. Lho, urusan nama kok bisa berujung mati? Lha, iya, meski memang gambaran yang saya paksa-paksa itu terlihat sedikit mengada-ada (namanya dipaksa-paksa memang banyak mengada-ada). Buktinya, banyak bukan yang merasa tidak punya nama lagi--lebih parahnya--malah kemudian bunuh diri. Tapi, saya tidak terlalu tertarik kait-kaitkan masalah punya nama dengan bunuh diri. Soale, sekarang di pikiran saya lagi teringat dengan begitu beragam cara orang untuk bisa punya nama. Berbagai macam cara bisa ditempuh hanya untuk bisa memiliki nama, hanya untuk nama. Lepas apakah untuk dongkrak nama, bisa untuk lejitkan nama, bisa untuk naikkan nama, ah sama saja ya? he he. Konon, ada di satu dunia pekerjaan. Sekadar untuk bisa punya nama malah arus korbankan keperawanan, kasihan. Ada bahkan orang tua yang menjual anaknya, juga untuk nama. Bahkan suami yang menjual istri, dan ia di rumah saja sambil memutar-mutar kumisnya. Yang penting, di kampungnya ia bisa tenar. Syukur-syukur bisa tenar sampai level nasional, bahkan internasional jika memang masih ada ruang. Jarang ada yang ingat, ternyata punya nama juga jadi persoalan. Contoh saja untuk tingkat desa, taruhlah ada anak masyarakat biasa yang melakukan hal-hal timpang, tidak akan terlalu disorot. Coba kemudian yang melakukan ketimpangan adalah anak dari tokoh masyarakat, bisa sampai mati disebut-sebut orang. Tetapi itulah dunia keseharian  kita. Masyarakat kita. Dan itulah kita. Soal nama menjadi masalah besar. Soal nama bisa menjadi urusan nyawa. Jika bukan membunuh orang, ya bunuh diri. Cerita dari koran-koran lumayan bisa menjadi bukti. Lantas, salahkah mencari nama? Lha, sejauh ini belum ada agama yang menjadikan cari nama atawa cari muka sebagai sesuatu yang haram. Kecuali, ketika memuja namanya sendiri, ia mempersiapkan dupa yang sangat menyengat berbentuk: dusta, bermain topeng, kemunafikan (sama saja ya?), dompleng, merugikan orang. Satu lagi, menipu banyak orang (juga sama saja, padahal). Ya, intinya saya cuma ingin bilang, silahkan saja cari nama, tapi mbok ya dengan cara lurus-lurus saja. Sebab soal lurus ini selalu ada sisi baiknya, salah satu bukti yang juga sedikit mengada-ada, Anda ke kamar kecil untuk buang air yang juga kecil kalau tidak lurus, kasihan celananya. Selain bikin orang-orang dekat tidak nyaman untuk bernafas. Jakarta, 19 Agustus 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun