Kelembutan itu adalah benang-benang yang ada dari lembar sutera syurga, dipergunakan untuk menjahit tulang-belulang hawa. Entah bagaimana ceritanya, semenjak tiba di bumi, benang itu tercerabut pelan-pelan, mengurai mungkin oleh begitu panasnya matahari bumi lalu berubah menjadi kusut lagi. Setelah menyentuh beberapa duri yang tumbuh di semak-semak kehidupan. Apakah ini kesalahan skenario Tuhan? Maha Pengasih yang menyatu dengannya menjadi pembantah. Lalu kenapa seorang perempuan desa seperti Laila bisa berubah wujud menjadi laiknya serigala, itu cerita manusia. Tak jarang, manusia memang lebih tertarik untuk melihat perut dan daging bawah perut yang jatah awalnya untuk berfungsi dengan baik proses cerna untuk tidak mengganggu jiwa. Tetapi selanjutnya itu menjadi perhatian dan bahkan tujuan, mungkin disebabkan oleh urat malu yang juga terputus ketika dengan kelalaiannya sendiri menyentuh duri-duri tanpa menyebut nama-Nya, dan memilih cukup menghadapi cuma dengan maki. Ketika sepasang belahan jiwa yang sebenarnya memiliki energi salju yang kuasa sejukkan buana, tetapi harus teriakkan tangis di sepanjang lorong catatan derita, menghiba berharap ibunya membuka mata. Ramat semakin sering teriakkan nama ibunya,"Ibuuuuuuuuuuu....." Kerap juga ia mengigau dalam tidurnya dengan mimpi sedang bercanda dengan ibu tercinta. Juga termimpi kalau ia sedang bergelayut manja di pelukan Bunda. Itu mimpi, mimpi seorang bocah yang merindukan ibunya. Mimpi seorang anak manusia yang memiliki hati yang begitu putih. Pikiran bersih seorang anak tidak pernah membuatnya membayangkan berbagai dera siksa yang pernah terayun dari tangan ibunda tercinta, justru ia lebih sering membayangkan senyum ibunya yang sebenarnya sangat jarang terlihat olehnya walaupun saat itu sedang berada di depannya. 2 Tahun sudah Laila menapaki langkah dengan peran tidak lagi sebagai seorang ibu. Ia hanya memiliki mimpi yang terus menderu, tidak peduli meski meniup lepaskan napas dalam debu. Seperti tidak merasakan sedikitpun deru rindu pada permata hati yang menyebut namanya dengan segenap rindu. Tak tahu apakah hatinya sudah berubah menjadi batu, atau hilang menjadi debu dan dibawa angin lalu. Justru, sekarang Laila sedang membaringkan kepalanya di dada lelaki bernama Cut Jaman bin Pawang Abu bin Teungku Alue Labu. Melabuhkan rindu tanpa peduli pada hal-hal tabu. Tangan yang kemayu, mempermainkan rambut-rambut di dada lelaki yang tidak lagi berkalbu. Hanya mendengar kecapi yang dipetik oleh angin deru rindu dengan mata dosa yang sebenarnya sudah kian kuyu. "Dek, aku kenal sekian banyak perempuan sepanjang jalan yang kutempuh. Tapi yang mereka berikan hanya tubuh, dengan bentuk hati yang tak utuh." Ujar lelaki yang sudah begitu paham bagaimana menjalankan peran buaya di sungai-sungai hati Laila yang kian keruh. Perempuan ini hanya menatap lelaki itu selepas setubuh jelang subuh. Mereka menjalin cinta dengan tiang-tiang yang sebenarnya rapuh, sama sekali jauh dari kukuh. "Abang bukan sedang merayu kan?" Ujar perempuan ini sambil tetap permainkan rambut lelaki yang ia sendiri tak tahu apakah dicintainya secara utuh atau hanya untuk dijadikan sebagai tempat berlabuh. Ia terlalu lugu untuk bisa pahami seperti apa buaya menyanyikan lagu, yang kelak bisa menjadi sembilu, untuk menyayat kalbu yang meniru sifat batu.
"Adakah yang membuatmu ragu, setelah sekian kali sudah kita labuhkan rindu?" "Bukan itu..." "Hm...???" "Iya, aku takut semua ini kelak berlalu. Ketika aku sudah kian diamuk oleh rindu." "Inilah yang kukatakan tadi sebagai ragu..." "Bukan, bukan ragu. Tetapi aku malu, jika kelak Bang Jaman benar-benar berlalu." Lelaki itu hanya menarik nafas, sambil mempermainkan beberapa anak rambut Laila yang hanya sebatas bahu."Tak ada yang harus membuatmu ragu setelah kita sama-sama mereguk madu. Setelah kita luapkan rindu. Karena itu kelak justru akan kian menderu. Hilangkanlah semua ragu. Keteguhan cintaku lebih keras dari batu." "Bagaimana dengan istri Bang Jaman?" "Dia hanya seorang perempuan. Tapi ia tidak bisa jalankan peran layaknya seorang perempuan. Sekarang malah aku tidak lagi melihatnya sebagai perempuan." Demikian obrolan sepasang anak manusia yang sedang menulis cinta dikertas hitam dengan tinta yang juga hitam. Tulisan cinta yang bisa ditebak, kelak takkan pernah dibaca, bahkan oleh mereka sendiri.. Di sebuah kamar losmen yang sudah berwarna abu-abu. Laila menyebut itu sebagai ungkapan rindu. Cut Jaman menyebut itu sebagai sesuatu yang tidak lebih berharga dari sekedar debu. Diyakininya, nanti juga hilang. Terhalang oleh dinding batu, karena ia tahu ini hanya cerita cinta yang tabu. Yang takkan pernah membuat Tuhan mengangguk setuju. ------- Si Kecil Ramat yang pernah lahir dari sela-sela paha Laila beberapa tahun lalu. Sekarang sedang terbaring sakit, sudah 2 minggu. Sebagai anak kecil, ketika ia sakit hanya satu sebutan yang paling sering keluar dari mulutnya, ibu. Hanya itu. Hasan terduduk di dekat pembaringan putranya itu. Menatap bola mata kecil dengan pandangan kelu. Tak ada suara, bisu. Meskipun mereka sedang tidak berada di goa batu. "Cepat sembuh ya, Nak. Biar Ayah bisa cepat kembali kerja. Bisa beli beras, untuk bisa Ramat makan dengan Adek Jannah, Iya?" Si Kecil hanya menatap dengan pandangan yang masih lesu. "Ayah sayang sekali padamu, Nak. Kalau Ayah banyak rejeki, Ayah mau beli apa saja untuk Ramat. Doakan Ayah selalu ya Nak. Kalau Ramat yang doa, Allah pasti dengar. Karena hati Ramat masih lebih bersih dari Ayah. Suara Ramat pasti akan lebih disukai Tuhan. Karena Ramat belum pernah bicara yang buruk-buruk. Ramat selalu bicara yang baik-baik. Semua yang Ramat bicarakan pasti membuat orang senang dan tersenyum. Ayah bisa senyum cuma kalau Ramat sembuh dari sakit. Ayah bisa tertawa cuma kalau Ramat sedang bisa tertawa. Kalau Ramat sakit seperti ini, Ayah juga tidak bisa lakukan apa-apa. Ayah tidak bisa bekerja, tidak bisa cari uang. Cepat sembuh ya? Lihat tuh, Dek Jannah tidak punya kawan canda kalau Abangnya sakit. Adek Jannah juga sedih kalau Ramat sakit." Ramat kecil mendengar semua ujaran Ayahnya, tetapi panas tinggi yang membuat mulut kecilnya juga penuh dengan sariawan, membuat i a tidak bisa bicara apa. Paling ia hanya akan merintih pelan,"Ayahhhhh..." Tapi sebagai anak, tetap saja, lagi dan lagi yang paling sering ia sebut adalah Ibunya. "Sepertinya sakit anak ini bukan panas biasa. Ia sakit karena ingat ibunya, San" Simpul Mak Keude pelan sambil menumbuk sirihnya di cubek di pangkuannya. "Sudah kau minumkan lagi ie oen drien? (air daun durian)" "Sudah Mak." "Coba kau raba dada dengan lehernya." Hasan menuruti perintah nenek yang juga dipanggil Mak olehnya itu. Walaupun sebenarnya dari tadi juga ia terus saja memeriksa dada, kening dan leher putranya itu.
----- Cek Dolah mengambil kesimpulan untuk bertemu dengan Mak Kib, saudara kandung Laila di Jeuram, 60 Km dari Pulo Raya. Ia beritahukan keadaan rumah tangga Hasan dan Laila yang pergi begitu saja meninggalkan anaknya. Walaupun sebenarnya sudah agak telat pemberitahuan itu. Kalau saja saudara kandung Laila ini diberitahukan jauh-jauh hari, ia pasti akan mencari adik bungsunya itu. Cuma karena diberitahukan setelah sebegitu lama, timbul berang juga terasakan oleh Mak Kib. "Kenapa sekarang baru dikasih tahu soal itu? Untuk apa diberitahukan setelah sekian lama seperti ini!" Suara Mak Kib dengan suara tinggi. Agak emosi mungkin karena ia sedang dalam keadaan lelah baru pulang dari sawah, tempat ia biasa mengupah. Saudara kandung Laila ini memang berprofesi sebagai buruh tani kalau sedang musim tanam dan musim panen. Di kedua musim itu ia bisa mengupah tanam dan potong padi saat panen. Selebihnya, di luar 2 musim itu ia terkadang juga menjalani profesi seperti adik iparnya, tukang angkut batu. Atau juga sesekali menderes karet di kebun tetangganya. Hasil menderes itu, ketentuannya 2 bagian untuk penderes satu bagian untuk pemilik kebun karet. "Begini, mereka itu bagian dari keluarga kita. Hasan itu aneuek keumuen (keponakan) saya. Laila adik anda. Nah, ini masalah kita bersama." "Kenapa tidak kami beritahukan jauh-jauh hari. Jelas karena kami tidak ingin bebankan Mak Kib dan saudara-saudara lainnya. Apalagi, dengan pernikahan memang Laila menjadi tanggung jawab suaminya, juga kami yang menjadi bagian dari keluarga si Hasan sebagai aneuk keumuen kami.." Suara Cek Dolah yang tegas walaupun pelan cukup untu menghentikan gaya bicara Mak Kib yang sering meledak-ledak 'Baiklah." Jawab Mak Kib. Segera ia juga jumpai Mak Suh dan Beunu, dua saudaranya yang lebih tua di Gampoeng Ulee Jalan, Beutong. Urun rembug, mereka mengambil cara menghubungi awak labi-labi (angkutan dalam kota di Aceh). Beberapa dari mereka ada yang kenal Laila. Maka 3 adik kakak itu menjatuhkan pilihan untuk manfaatkan awak Labi-labi yang sering hilir mudik Jeuram ke Meulaboh. Dalam perkiraan mereka, Laila tidak akan pergi terlalu jauh melebihi Meulaboh yang notabene sebagai pusat kabupaten ketika itu. Dan benar saja, beberapa hari mereka mendapatkan informasi keberadaan Laila, detail sampai alamat Bidan Ratna diketahui mereka. Kali ini giliran Mak Suh, kakak nomor 2 Laila. Sosok yang keras dan merupakan preman gampoeng berperawakan tinggi besar itu yang dipercayakan untuk datang menjemput Laila. Tiba di alamat yang dituju;
"Salam lekom..." Diucapkan sampai 3 kali. Yang pertama sekali keluar adalah Cut Jaman yang sedang hendak labuhkan rindu ke tubuh Laila. Apalagi memang pemilik rumah sedang ke Peureumeue, 40 Km dari Meulaboh untuk acara pernikahan sejak dari tadi pagi.. Cut Jaman keluar tanpa menjawab salam.
"Siapa anda?" Tanya Cut Jaman dengan nada yang sangat jauh dari ramah. Kancing kemejanya terlihat [caption id="attachment_134463" align="alignright" width="300" caption="Terkadang lelaki harus bermain darah"][/caption]
hanya 2 lagi yang masih terpasang dengan baik. Sedang dari leher sampai perut sudah terbuka. Lelaki itu bisa berada di sana karena istrinya sekalipun sedang sakit-sakitan tetap ikut dengan Bidan Ratna. Harusnya Cut Jaman juga ikut, karena yang mengundang termasuk masih famili mereka. Cuman, sebagai buaya yang lebih tahu yang dibutuhkan olehnya sendiri. Ia beralasan tidak pergi. Sedang ke pemilik bus yang biasa ia sopiri, ia sudah beralasan tidak tarik sewa hari itu karena akan pergi bersama istri. Proses pengibulan yang sudah disetting dengan cukup rapi oleh lelaki yang memiliki hati sudah tidak rapi lagi.
"Laila ada?" Tanya Mak Suh dengan wajah datar tanpa menjawab tanya lelaki di depannya, meski ia sempat mengira kalau Cut Jaman adalah suami dari Bidan Ratna.
"Pertanyaan saya anda jawab dulu. Untuk apa Laila? Ada keperluan apa? Jangan main tanya saja!" Mendengar suara ribut-ribut, Laila yang tadi sedang sanggoi oek (mengikat rambut agar tetap terlihat rapi) ikut keluar sambil berpegangan di pinggang Cut Jaman. Ia tidak bisa melihat saudara kandungnya, karena agak terhalang oleh badan Cut Jaman yang berdiri di pintu. Tapi segera Cut Jam beri jalan juga untuk Laila keluar. "Di sini kamu, inoeng jalang! (perempuan jalang). Kau sudah permalukan keluarga saja. Kenapa kau pergi? Kenapa tinggalkan suamimu? Punya anak tapi seperti sapi beranak. Habis beranak kau tinggalkan begitu saja!" Hardik Mak Suh sambil mendorong-dorong kepala Laila. Mata perempuan yang dipanggil jalang oleh saudara kandungnya itu mulai sembab.
Cut Jaman sebagai seorang buaya merasa diremehkan dengan sikap Mak Suh, tidak dipedulikannya kalau Mak Suh itu adalah abang dari selingkuhannya ini. Kebetulan posisi berdirinya lebih tinggi dari Mak Suh walaupun secara tinggi badan lebih tinggi Mak Suh daripadanya. Sigap ia mengambil sepatu yang tadi dilepas dan diletakkan dekat pintu. Tap, plak! Sepatu dengan alas yang lumayan keras itu sudah singgah di kepala dan pelipis Mak Suh. Terang saja, preman gampoeng ini kian naik darah. Tidak peduli apakah di depannya yang punya rumah atau bukan, karena ia masih menduga Cut Jaman sebagai pemilik rumah tempat Laila tinggal itu. Seketika pula, sebuah ayunan tinju ia arahkan ke dada Cut Jaman sampai buaya itu menghempas pintu. "Kureueng haja. Ulee kee ka peh ngoen sipatu! (Kurang hajar! Kepalaku kau pukul dengan sepatu)." Sekalipun Cut Jaman sudah terjajar, terjatuh ke lantai sambil memegang dadanya. Ayunan kaki Mak Suh mengarah ke arah selangkangan Cut Jaman. Tap! Degh! Kemaluan lelaki buaya itu terpukul keras dengan punggung kaki Mak Suh sampai matanya mendelik. Ditambah lanjutan tumit Mak Suh menginjak rusuk Cut Jaman. Lengkap sudah rasa sakit di badan jebolan perguruan para buaya itu. Matanya terasa berkunang-kunang. Apalagi memang kaum lelaki akan merasakan sangat sakit kalau bagian kemaluan terkena pukulan. Bahkan pukulan seperti itu bisa saja berakibat kematian. Hanya saja, mungkin lelaki seperti Cut Jaman itu sudah dilindungi siluman buaya maka ia pingsan saja tidak. Selain hanya mendelik-delik dan meringis sambil memegang kemaluannya dengan tetap berbaring. "Soe agam nyan? (Siapa lelaki itu?)" Tanya Mak Suh masih dengan nada marah. "Teman...tem...temanku, Bang." Jawab Laila lugu dan terbata-bata. "Kurang hajar. Teman, teman, teman???" Degh Arghhhh Dorongan telapak tangan Mak Suh mengenai keras wajah Laila hingga terjungkal juga ke belakang. Tepat juga terduduk di kemaluan Cut Jaman yang sedang sakit. Tak urung kian membuat lelaki itu menjerit karena merasa makin sakit. Mungkin oleh sebab tidak tahan sakitnya. Justru sekarang kaki lelaki yang pernah menulis surat cinta dengan berbunga-bunga itu mengarah ke punggung Laila sampai perempuan itu terlempar kembali ke samping kanan Cut Jaman.
———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini juga sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H