Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki Mengelus Venus

29 Januari 2010   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:12 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_63821" align="alignleft" width="300" caption="Dalam ketidakberdayaan, Tuhan mengusap jiwa dan badan dengan cinta-Nya (Gbr: Google)"][/caption] Terlihatkah olehmu, semua bintang sudah padam tenggelam sisakan derak peraduan lalu diam. Derik jangkrik terdengar tak lagi hanya saat malam. Karena matahari telah berhasil menikam seribu lelaki dan sejuta perempuan sampai mati, tak ada lagi harus melihat wajah-wajah muram.

***

Venus tersenyum pada awan berwajah tirus yang hanya bisa bermain di ketinggian dua kaki diatas bumi. Lalu melenggang malu menghilang tenggelam padam dalam imajinasi yang kian sepi. Venus melenggang dalam senyum yang masih mengembang. Lalu terbahak tertawakan beberapa lelaki yang telah menjadi binatang jalang. Karena mereka tidak bisa meski sekedar dirinya sendiri kuasa mengenal riang. Seribu lelaki kemudian meradang garang. Berharap mereka bisa membunuh bimbang sambil mencoba hapuskan bayang-bayang ayunan di atas ranjang.

***

Hanya kabut tipis yang dicurigai para binatang bakal hilang, tapi dengan nyalang menulis puisi cinta di tanah lembab. Yang belum terinjak kaki-kaki sang jalang. Mereka tertawakanku, duhai kekasih. Karena mereka mengira aku hanya kabut yang terlalu bangga karena tubuhku berwarna putih. Karena merasa bahwa tubuhku bisa pecah hanya oleh sapuan kecil angin pembawa berita perih. Ini cintaku masih putih. Yang akan berubah menjadi tangan yang cukup perkasa mengusap setiap jengkal tubuhmu yang kuyakin masih serupa mata air jernih. Walau perjalanan ini kulakukan dengan langkah yang tertatih. Tapi percayalah, satu purnama lagi aku bisa bawakanmu sutera-sutera indah, pualam bersih, dan batang sirih agar cinta kita menjalar karena dirahimmu akan kutanamkan berlaksa benih, tanpa risih. Dan kelak, di setiap jengkal tanah yang kita pijak tak ada lagi yang meringis perih karena ketidakberdayaan mereka sekedar untuk memahami saling percaya.

***

Venus rebah sudah di dada kabut tipis yang diremehkan sejuta lelaki yang seribu abad lalu tertawa girang. Sedang mereka sekarang menjadi jalang. Mencoba tunjukkan diri masih cukup garang. Karena kabut itu sebenarnya juga lelaki yang selalu mencoba untuk selalu mendekat pada bumi. Menghindari basa-basi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun