[caption caption="Sebagai mantan menteri pendidikan, Anies akan lebih elegan jika berpolitik dengan cara yang lebih mendidik - Gbr: Bangka Pos"][/caption]
Anies Baswedan tampil di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dengan menyandang status sebagai bekas menteri pendidikan. Pertanyaan yang layak direnungkan lagi, apakah ada ruh pendidikan membekas pada dirinya saat ia sedang bertarung menuju satu kursi kekuasaan?
Jadi, pagi Senin tak lama sehabis salat Subuh, saya mencoba merenung-renung lagi tentang kandidat gubernur Jakarta. Melihat-lihat lagi bagaimana karakter yang mereka tampilkan.
Teringat lagi, di awal kemunculan Anies, saya sempat menjadi salah satu pemilik KTP DKI yang mengimpikan dia akan dapat menampilkan cara berpolitik yang mendidik. Apalagi, sekali lagi, dia adalah figur yang berangkat dari status sebagai mantan menteri pendidikan, yang membawa tanggung jawab besar untuk pendidikan senegara.
Sayangnya, makin digali, justru makin terlihat jika Anies hanya berhasil mendidik mulut sehingga kata-katanya terlihat terdidik, terlihat cerdas, dan seakan selalu berisi kebenaran dan hal-hal mendidik.
Tapi, mendidik mulut pun tak sepenuhnya mampu dilakukan olehnya. Simak saja bagaimana dalam kehalusan kata-katanya menyimpan begitu banyak racun, yang bisa membuat mabuk pengikutnya dan bisa "membunuh" mereka yang memilih berdiri berseberangan dengannya.
Makin hari toh makin terbukti jika Anies yang berstatus mantan menteri pendidikan itu tak punya banyak cara dan jurus politik. Ia hanya mengandalkan satu cara dan satu jurus berlabel "Halalkan segala cara".
Terbukti dari bagaimana pergerakan politik dilakukannya, bagaimana ia merangkul, hingga ia membangun jaringan.
Perhatikan saja komposisi kekuatan yang dibangunnya, apakah berasal dari kalangan yang "memperbaiki" ataukah kalangan yang "merusak"?
Dari situ saja, sejatinya akan terlihat mana yang lebih jadi prioritas sosok yang awalnya rajin membangun citra dirinya sebagai seorang tokoh pendidikan. Apakah ia menggunakan langkah politik yang mendidik?
Tidak. Anies bahkan cukup tega mengkhianati arah pendidikan agar manusia menyadari kemanusiaannya dan agar manusia lebih beradab. Dan, patut dicatat, dia melakukan pengkhianatan itu dengan tetap mengumbar senyum dan tawa tanpa perasaan berdosa.