Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Laila, Jadilah Hujan

14 Mei 2010   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:13 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam pekat mendung, mungkin hujan akan turun. Andai saja hitam itu hanya warna [caption id="attachment_140685" align="alignright" width="234" caption="Laila, jadilah hujan"][/caption] sekelebat, mungkin juga hujan datang hanya sesaat

***

Lagu dangdut terdengar begitu keras dari sebuah rumah yang bertempat bersisian dengan meunasah. Seorang perempuan terlihat mengikuti setiap lirik dari tape kecil yang menggunakan tenaga baterai aki. Sudah tahu jalannya licin mengapa engkau pakai sepatu. Sudah tahu aku orang miskin mengapa engkau mencintai… Perempuan bertubuh basah itu terus saja mengikuti lirik-lirik dari tape yang bertempat dekat dengan geurobok pakaiannya. Tanpa salam, seorang lelaki sudah masuk ke dalam rumahnya. Mengepulkan asap rokok dan duduk begitu santai di kursi kayu yang biasa diduduki suami perempuan itu selepas pulang kerja. Amri, lelaki itu dengan senyum kecil mendengarkan semua nyanyian yang keluar dari mulut perempuan bernama Laila itu. Letak sumur yang berada satu ruangan. Hanya dibatasi dengan plastik terpal dengan pintu berupa kain tua yang sekarang terbuka, karena digelantungkan di pinggir kayu tiga jari penyangga terpal tersebut. Laila sedang mencuci sehingga air yang dipergunakan untuk membilas pakaian ikut membasahinya. Diawali dengan deheman kecil. Laila yang tadi dalam posisi membelakangi, menoleh agak sedikit terkejut ke arah Amri yang sekarang menarik kursi ke sisi sumur tempat Laila mencuci. ”Cucoe laju bajee nyan ilee, lon bah kuduek inoe (bilas dulu pakaian itu, aku duduk saja dulu di sini). Kan boleh juga aku mendengar suaramu bernyanyi? Suaramu tidak kalah cantik dengan orangnya.” Jurus pertama sudah dilancarkan lelaki itu. ”Entah apa-apa, orang nyuci juga ditonton…” ”Kan boleh, menikmati suara yang seindah pemiliknya kan bukan dosa?” Jawab lelaki itu sebelum Laila menyelesaikan kalimatnya. Tidak bicara lagi karena wajah sudah demikian bersemu merah, cuma tidak terlihat disebabkan kulit wajahnya yang tidak putih. Bahasa Amri demikian menyentuh hati Laila, membuat bunga bertambah mekar di hatinya. Bahasa yang memang tidak pernah diucapkan dari mulut Hasan, suaminya. Ada perasaan yang begitu indah membuncah di dada perempuan ini sehingga lelahnya mencuci pakaian anak dan suaminya tidak terlalu terasa. Pakaian itu memang lebih banyak dari biasa karena sudah 2 minggu tidak dicucinya, selain ditempatkan begitu saja dalam ayan (ember). Setelah membilas semua pakaian itu, tidak langsung dijemur olehnya. Tapi ia memilih untuk mandi segera, berganti pakaian dan duduk di atas meja setinggi pinggangnya, berdekatan dengan Amri. Candaan-candaan keluar dibarengi dengan tawa tergelak yang tidak pernah dilakukan ketika sedang berdua dengan suaminya. Tidak butuh waktu lama, pasangan yang tidak pernah cantumkan nama di surat nikah ini terlihat sudah berpegangan tangan. Hanya beberapa jenak saja. Sampai Ramat, anak dari perempuan ini tiba pulang ke rumah di jam sekolah. ”Kenapa pulang jam segini?” Tanya Laila ketus dengan napas mendengus. ”Tadi di sekolah…” Ramat tergagap menjawab karena di dadanya bergemuruh marah melihat cara duduk ibunya dengan lelaki itu tidak wajar sekali. ”Kamu bolos? Kecil-kecil sudah tahu bolos!” Laila sudah menyergah. “Duh, Mak. Belum juga kita bicara sudah…” “Kau memang seperti Bapakmu! Ditanya malah jawab bertele-tele gitu!” Tidak bicara lagi karena merasa tidak ada untungnya juga. Bergegas Ramat menuju ke dapur. Sedang di depan ibunya masih bersama dengan puisi omelannya yang benar-benar sangat tidak layak untuk dideklamasi. “ Anak orang gak ada yang jam sekolah malah pulang ke rumah. Kau keluar dari pagar sekolah untuk meurangak.” Bahasa kasar keluar darinya. Karena meurangak itu lebih menunjukkan pada kebiasaan binatang bermain-main. Tetapi perempuan ini mengeluarkan kata-kata itu mungkin karena merasa terganggu dengan acaranya. Ramat sudah berada di dapur dan mengambil pisau dapur. Di rumah tidak ada gunting kuku maka pisau dapur itu menjadi pilihannya untuk potong kuku. Terpaksa ia pergunakan pisau itu untuk memotong kukunya karena di sekolah terancam oleh seorang gurunya yang terkenal kejam. Pak Hasan nama guru itu. Hanya karena alasan tidak suka melihat murid yang kotor. Kuku di tangan muridnya saja bisa membuat ia berang. Seringkali ia menindak keras murid-murid SD yang sebenarnya tidak butuh cara kekerasan sekedar untuk jelaskan pentingnya kesehatan. Tetapi tetap saja guru itu dengan kebiasaannya. [caption id="attachment_140687" align="alignleft" width="200" caption="Jangan membunuh anak-anak karena alasan kedewasaan sekalipun"][/caption] Jika sudah kena giliran jam mengajarnya, anak-anak yang sedikit panjang kuku saja bisa dihukum dengan meminta tangan anak-anak itu diletakkan di atas meja, lalu dipukuli di ujung tangan mereka dengan rol. Tindakan yang jelas akan membuat anak-anak menangis. Atau, bisa juga lebih parah. Setelah tangan anak-anak ini diminta letakkan di atas meja, guru ini akan menekan salah satu jari muridnya dengan ibu jari dan menarik kuku murid itu ke sisi atas. Disebabkan kekejaman demikian, membuat Ramat buru-buru pulang ke rumah dan pergunakan saja pisau dapur untuk memotong kukunya. Daripada harus menerima perlakuan kejam dari guru pelajaran agama itu. Untuk memotong kuku dengan pisau dapur ini, Ramat melakukannya dengan posisi mata pisau yang mengarah ke wajahnya. Jarak wajah dengan pisau ini sedemikian dekat untuk menghindari terlukanya bagian tangan lain. Sedemikian dekatnya. Baru kuku setelah kelingking sampai telunjuk kiri selesai dipotongnya, giliran kuku ibu jarinya untuk dipotong. Kerasnya kuku ibu jari membuat ia harus menekan dari bawah dengan lebih keras juga. Kuku itupun putus dan mata pisau tak bisa lagi dikontrol oleh bocah ini dan mengenai keningnya. Hampir saja mengenai mata kalau bukan karena kecepatan refleks. Darah dari keningnya tumpah sampai baju putih sekolahnya basah oleh darah. Tidak menangis, Ramat berlari ke arah ibunya yang belum hentikan omelannya. ”Mak, iteubiet darah…” Tanpa menanyakan lagi. Laila sedikit merasa iba dengan keadaan anaknya walaupun tidak terlalu ditunjukkannya. Dibaringkannya Ramat untuk mencegah semakin derasnya keluar darah dari kepala sekaligus dioleskan minyak tanah dari panyoet (lampu minyak tanah terbuat dari kaleng bekas lem). Ramat juga mengambil satu plester yang masih tersisa dari yang sudah dipakai tadi pagi untuk menambal celananya. Tanpa bicara Laila mengambil plester dan ditempelkan di kepala Ramat. Baju yang dikenakan Ramat sudah begitu basah dengan darah. Namun bocah ini tidak lagi memakai pakaian yang basah dengan darah itu. Tapi mengambil kemeja putih lengan panjang milik ayahnya. Dikenakannya dengan menggulung lengan sampai siku. Bocah yang mulai beranjak baligh ini melangkah ke sekolah dengan baju besar dengan panjang yang hampir sampai ke lututnya. ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju. 23. Anak Lapar dan Perempuan Sangar. 24. Menelusuri Dada Laila 25. Perempuan Hitam 26. Gadis Desa Tanpa Sehelai Benang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun