[caption id="attachment_79726" align="alignleft" width="185" caption="Mari buka pakaian kita, sayat semua daging tubuh, lihat dengan baik. Lupakan soal sejauh mana pendidikan dan pengetahuan jika pengetahuan hanya kuasa menciptakan kemunafikan (Gbr: Google)"][/caption] Berawal sebuah obrolan ringan persis di lantai sebuah rumah, sudut Kota Bandung. Seorang sahabat, Erwan memulai sebuah kalimat: ...apa yang bisa dibanggakan dari budaya timur?
***
Selanjutnya, mengalir deras serupa Air Terjun Niagara, kenapa membanggakan budaya timur? Kenapa memuja timur? Dan dalam obrolan itu memang saya lebih terposisikan sebagai pendengar, sesekali saja berkesempatan utuk menimpali untuk menunjukkan bahwa memang saya benar-benar mendengar semua ujaran yang disampaikan oleh sahabat tersebut. "Tidak ada yang bisa dibanggakan lagi dari budaya timur. Dulu benar, mungkin kita banggakarena keramahan yang dimiliki belahan bumi kita berada. Dengan masyarakat yang ramah, masyarakat yang tulus dan jujur. Orang-orang yang saling menghargai. Manusianya yang santun..." Kritiknya terkait dengan kondisi yang ia lihat--mungkin, kita juga melihat (?)-- di belah bemu bertempatnya manusia yang membanggakan ketimurannya. Terus, saya mencoba melihat ke dalam pikiran sendiri. Iya, saya termasuk manusia yang pernah begitu membanggakan diri sebagai masyarakat yang sangat memuja ketimuran. Tempat masyarakat yang begitu relijius. Masyarakat yang memiliki kekuatan kekeluargaan. Masyarakat yang masih dengan girang hati mengunjungi orang-orang sakit, membesarkan hati mereka, hingga sakit yang mendera tubuhnya kendatipun tetap bercokol, namun terasa seakan tidak sakit saja. Namun, saya juga harus mengakui, ada pergulatan di sana. Ada ketidaktegasan dan ketidakjelasan di sana. Seringkali, dalam pikiran yang sarat ketololan di dalam diri saya--barangkali saja begitu--, muncul pikiran dan kesimpulan-kesimpulan bahwa barat adalah tempat untuk manusia amoral, manusia yang tidak mengenal perikemanusiaan. Masyarakat yang tidak pernah tahu lagi definisi kasih sayang. Komunitas yang tidak lagi mengenal peradaban yang humanis. Intinya, kesimpulan yang muncul: "West is nothing." Dari sana (lagi), saya hanya bisa tercenung. Sepertinya memang saya ---dan mungkin juga ada beberapa saudara saya yang pernah terjebak dengan ketololan yang persis dengan yang pernah saya lakukan--, untuk minta maaf. Bukan pada barat, tidak pada peradaban barat. Tetapi pada kejujuran yang ternyata selama ini lebih sering terkangkangi. Di depan banyak orang, kemunafikan di dalam diri sendiri begitu getol teriak-teriak, "sayalah yang paling jujur, paling bijak, paling dan paling--secara diam-diam juga mengakui, saya paling bangsat--."
***
Selalu saja, dibalik pakaian yang dikenakan masih ada kulit yang membungkus daging. Terus, daging itu kita coba untuk disayat dan disayat. Ah, masih banyak kotoran bertempat di seputar perut dengan rongga yang mengarah ke bawah, persis di sisi belakang. Kotoran itu kita bawa ke mana-mana. Dalam malu-malu, saya sendiri mencoba untuk memalu kebebalan dengan godam yang memang pernah nyaris tidak kuasa saya angkat sendiri. Kotoran itu tidak kenal timur dan barat. Kotoran itu bercokol di semua perut. Sayang sekali, tidak jarang banyak yang lupa bahwa di balik tubuh kekar para lelaki, di balik tubuh indah para wanita, ada kotoran yang terlupakan. Maka seterusnya dipandang wajar saat kotoran itu tersadari kemudian hari telah menyatu dengan jiwa, juga penuh melumuri wajah. Bisa dibersihkan hanya dengan mengeluarkan nyawa terlebih dulu dari tubuh yang tak lebih kuat dari pembungkus kusam nasi yang membusuk. Dari salah satu sudut Kota Bandung, 230210
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H