Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keburukan (Berbahasa) Ureueng Aceh

30 April 2010   16:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_130309" align="alignleft" width="300" caption="Nyeung brat cit ureueng rameunee, keubiet lon untoeng jeuet keu ureueng rameunee bah pih brat"][/caption] Aceh kasar, tidak punya adab dan cenderung primitif plus udik. Sehingga dalam berbahasa pun, mereka tidak enak didengar. Yap, itu adalah selentingan yang terdengar, kebetulan dibawa angin dan nyasar ke telinga saya sebagai salah seorang Ureung Aceh. Tercenung juga ketika mendengar 'berita' serupa ini. Mencoba tidak menyalahkan terlebih dahulu dan lebih memilih melihat sejernih mungkin. Tapi tidak tahu kenapa, saya lebih tertarik membedakan Aceh itu dengan Ureung Aceh Pantee [Aceh pesisir] dengan Ureung Aceh Gunoeng [Aceh dataran tinggi]. Mengulik kembali, sejauh mana perbedaan kedua kutub masyarakat bumoe Aceh tersebut? Cara berbahasa, jelas. Sikap, juga sangat jelas. Prinsip, lebih jelas lagi. Cara Berbahasa Hal kontras yang membedakan masyarakat Aceh satu dengan lainnya itu adalah, haba ureung na sikula [baca: pembicaraan orang-orang berpendidikan] dengan ureung hana sikula [orang tidak berpendidikan. Untuk kalangan yang pertama, ketika ia masih berada di tempatnya, taruhlah yang kita sebut pesisir yang memang cenderung lebih keras. Ia cenderung terpengaruh bertutur seperti lingkungannya. Tetapi terkadang saat berada di luar ia akan mencoba menyesuaikan. Namun, perubahan style atawa gaya berbahasa itu tidak bisa diubah. Kalau misal ada yang berubah saat sekembali perantauan--sebagai misal--, maka kecenderungan di sekeliling akan menggunjingnya. Dalam hal menggunjing ini, tidak hanya kaum ibu, yang sesama lelaki juga bisa saja bergunjing. Nah, bahasa yang berubah ketika pulang kampung, ia bisa saja disindir [Aceh: poh sampeng] dengan kalimat seperti: baroe dua uroe jak u luwa, ek ek ka kreueh [terj: baru dua hari ke luar daerah, tahi pun ikut keras]. Khusus di pesisir yang saya sebut tadi. Kalimat yang acap terdengar kalau sedang marah: Bret mak kah (kemaluan ibumu), pap ma keudeh (setubuhi ibumu kesana), pap leumoe (setubuhi sapi), aneuek tet (maaf, ini untuk menyebut clitoris), aneuek bajeueng (anak haram), rameujadah (haram jadah), dan beberapa lainnya. Biasanya, kalimat seperti ini, bagi yang berpendidikan akan menghindar pergunakan kata-kata tersebut, bisa jadi karena pertimbangan harga diri atau alasan lainnya. Meskipun di lapangan tidak jarang juga saat sudah kembali menyatu dengan masyarakatnya kata-kata demikian dipergunakan kembali. Khusus di daerah saya, Pantai Barat Aceh, spesifik Gampoeng Rameunee (sebutan untuk Nagan Raya). Ada satu hal yang sering diperhatikan sekali ketika ada anggota masyarakat yang baru pulang dari perantauan. Yap, cara penggunaan huruf "R", misal untuk menyebut ree (malas), rhap (hampir), rumoeh (rumah). Misal saja ada yang mempergunakan R seperti lazimnya berbahasa Indonesia untuk menyebut ramai, ramah, ribut dengan R yang kental, maka siap-siap orang tersebut mendapat cap manoek pungoe keue ikue (ayam gila ekor/ ingin ekor panjang). Karena khusus di Nagan sampai ke Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, R sering dilafalkan seperti Orang Perancis berucap R, dengan pelafalan tersamarkan. Kadang juga bisa terdengar seperti G. Hanya saja, sedikit lebih jauh, khusus di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya banyak masyarakat yang menggantikan pengucapan L dalam bahasa Aceh menjadi "R/gh." Misalnya untuk menyebut blet (kaleng, bisa terucap bret), capli (cabe bisa terucap capri). Sikap Ureung Aceh Dari sejak masa penjajahan Belanda, bisa dirujuk pada berbagai literatur tentang Aceh, Ureung Aceh cenderung kreueh ulee (keras kepala/ biasanya yang berhubungan dengan prinsip hidup), cuheng (gemar menunjukkan kekuatan otot--maka ilmu bela diri cenderung sangat digemari di sana), lisek (cerdik/ sejarah Teuku Umar mengibuli Belanda sebagai contoh). Pun, pengaruh adat dalam keseharian cukup kuat. Misal, ada khanuri peunuwoe (pemberian kue-kue dari pihak pengantin lelaki untuk pengantin perempuan, atau sebaliknya). Di sini, biasanya pihak keluarga akan dipanggil untuk hadir ke rumah pengantin untuk bicarakan tentang peunulang (upacara pengembalian yang setimpal untuk pihak pemberi/ mirip membayar). Di sini yang berhadir biasanya akan dibagi kue tadi untuk dibawa pulang. Secara cuma-cuma? Tidak. Tetapi mereka yang hadir dan mendapat bagian bingkisan kue tadi harus 'membayar' dengan harga yang seringkali bisa lebih mahal. Katakanlah, kalau membeli kue-kue tersebut di toko-toko yang menjual kue tradisional semisal karah, kueh bungoeng, kueh bawang dan kue kering sejenis hanya menghabiskan 10 ribu dalam satu kantong kecil itu. Tapi untuk pemberian dalam acara duek pakat (rapat) keluarga, maka 'bayaran' tadi itu bisa sampai 50 ribu sampai 200 ribu. Untuk yang terakhir ini, saya sering menggerutu (saat masih awal remaja dulu): aleh paki-paki awak kee, lheueh dijoek nyan dilakee bayeue (entah apa-apa, sudah diberikan malah diminta bayar lagi). Prinsip. Terkadang, untuk bisa hidup, dari kecil anak-anak Aceh kerap diperdengarkan kalimat dalam mencapai tujuan hidup: uleue bek matee, ranteng bek patah (ularnya mati, tapi ranting pemukul ular jangan patah). Kuah beue leumak, ue bek beukah (Terj: Gulai harus bersantan, kelapa jangan sampai harus dikupas. Ledekan untuk orang yang ingin keuntungan namun tidak bisa menerima resiko). Biasanya memang kontras yang diperdengarkan, dalam hal ini kembali pada tingkat cara bagaimana menerima petuah-petuah yang sebagian memang menjadi prinsip. Seperti, bek toeh ek lam kanoet bue (Terj: jangan buang air besar dalam periuk nasi). Maknanya, jangan merugikan orang. Jangan mempermalukan orang. Maka biasanya orang Aceh kalau sudah dipermalukan bisa berubah beringas meskipun dalam pandangan jernih bisa saja disebut, untuk apa merasa dipermalukan jika hal yang disebut itu tidak ada pada diri yang dipermalukan itu. Tapi seringkali memang soal harga diri bisa menjadi permasalahan hidup dan mati. ------------ Sekedar catatan sepintas tentang sisi lain Ureueng Aceh. Mungkin bisa menjadi inspirasi bagi yang tertarik mendalami permasalahan sosiologi suku-suku di Indonesia. Tulisan ini merupakan observasi pribadi penulis. Sumber gambar: Di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun