Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jejak Langkah Lima Tahun Seorang Kompasianer

3 Oktober 2014   12:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:32 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14123008671608783377

[caption id="attachment_363587" align="aligncenter" width="600" caption="Gbr: BrainQuote"][/caption]

Kecintaan saya pada dunia kepenulisan adalah motivasi pertama, sehingga pada 17 September 2009, saya memutuskan bergabung di Kompasiana. Saat tulisan ini saya buat, kiprah saya di media Citizen Journalism ini telah mencapai umur lima tahun enam belas hari. Wow, saya sendiri tak membayangkan bertahan sebegini lama di media ini. Lalu apa yang saya kerjakan sepanjang itu? Juga sejauh mana saya memberi dan mendapatkan manfaat dari media ini?

Baiklah, saya menambahkan dulu dari sisi motivasi awal bergabung, selain karena alasan kecintaan pada kepenulisan. Bahwa ada panggilan nurani, ingin mengangkat berbagai hal tentang Aceh yang merupakan daerah saya berasal. Kenapa? Pertama karena saya sendiri mencintai budaya daerah saya. Kemudian juga saya sendiri berpikir, bahwa pikiran "Keacehan" tak keliru untuk juga diperkenalkan ke luar daerah itu sendiri.

Lantaran saya melihat, sebelumnya, bahwa berbagai pemikiran yang dimunculkan oleh "ureueng Aceh" cenderung hanya berkutat dan berputar di Aceh. Menggunakan media-media di Aceh, dan hanya menjadi "konsumsi" masyarakat Aceh sendiri. Ada sebagian ureueng Aceh yang memunculkan pikiran-pikiran ke luar Aceh, namun berjumlah terbilang sedikit--menghindari menyebut bisa dihitung dengan jari.

Ada media-media nasional mainstream bisa menjadi wadah, tapi tentu saja takkan seleluasa halnya menulis di media seperti Kompasiana ini. Jamak diketahui, media mainstream memiliki mekanisme tersendiri, dan serangkaian proses yang juga tidak menjanjikan sebuah tulisan akan begitu saja bisa tampil di sana.

Artinya Anda menjadikan Kompasiana sebagai wadah menulis karena alasan tulisan-tulisan Anda ditolak media-media mainstream?

Tentu saja tidak. Pasalnya sebelum saya berkiprah aktif di Kompasiana, saya pribadi sudah mengawali di berbagai media mainstream. Saya sendiri mengawali profesi di media mainstream, dan masih bekerja di media mainstream, meski berpindah-pindah--berawal di AcehKita, lalu sempat vakum dan menjadi penulis lepas di media-media seperti Harian Aceh, Serambi Indonesia, dan juga belakang sempat dimuat Harian Kompas saat ada halaman edisi Zona Sumatra. Sekarang berada di salah satu media olahraga.

Jadi Anda tidak pernah ditolak setiap mengirimkan tulisan?

Sering, tentu saja. Karena tak ada penulis yang menemukan jalan bebas hambatan untuk bisa tampil di media mainstream.

Lalu?

Ya, Kompasiana masih menjadi media yang saya gemari karena di sini saya menemukan banyak hal. Terutama tentu saja kesempatan lebih banyak belajar dari banyak figur yang beragam keahlian di sini. Sebut saja Faisal Basri, Prayitno Ramelan, Tjiptadinata Effendi, Gustaaf Kusno, Michael Sendow, dan tentu saja Pepih Nugraha--"Steve Jobs"-nya Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun