[caption="Mereka juga perempuan yang sedang mencari jalan hidupnya, dari tempat terburuk ke tempat lebih baik - Gbr: GoRiau"][/caption]
Di sana takkan ada nama asli. Semua disamarkan, sesamar nasib sebagian perempuan yang kesulitan melihat adanya banyak jalan lain yang lebih baik. Tapi, di rumah-rumah pelacuran itu bisa terlihat bagaimana mereka harus melihat situasi yang dihakimi terburuk sebagai yang terbaik.
Saya sendiri punya pengalaman mendatangi beberapa lokasi pelacuran, menyambangi rumah-rumah di mana transaksi berahi berlangsung. Satu pihak menjajakan, dan pihak lain membeli. Satu pihak bisa pulang dan tetap merasa suci, dan pihak lain tetap berkubang di sana dan selalui dihantui perasaan bersalah.
Saya memilih menyambangi lokasi pelacuran itu di Sumatra Utara, Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta.
Tiap kali menceritakan pengalaman di sana, banyak teman-teman saya sendiri terkaget-kaget, "Apa iya elu ke sono gak icip-icip?"
"Masa tidak tergoda untuk menjamah mereka, toh harganya kan tidak akan terlalu mahal?"
Ya, bagi sebagian orang, mendatangi tempat-tempat begitu acap diidentikkan dengan satu misi saja; turut bertransaksi. Hanya mengeluarkan sekian rupiah, tak perlu memusingkan tanggung jawab apa-apa, dan bisa pulang dengan perasaan puas.
Sedangkan saya, menjadikan tempat itu sebagai tempat untuk menguji diri sendiri; seberapa mampu menahan diri dan seberapa mampu tetap menghargai manusia ketika mereka berada di titik terendah--setidaknya menurut sudut pandang kalangan yang meyakini tempatnya berada di atas mereka.
Di Yogyakarta, Pasar Kembang telah menjadi nama begitu populer. Sarkem, begitu orang-orang menyingkatnya, menjadi satu tempat yang juga saya sambangi.
Di sana, saya masuk ke rumah-rumah yang menjadi tempat sederet perempuan berdiri dan duduk di sofa yang tersedia. Dandanan yang terasa sekali disengaja semenggoda mungkin, lengkap dengan lirikan, berikut kata-kata diucapkan selirih mungkin.
Jika mengikuti insting kelelakian, dorongan untuk mengalir saja, menikmati yang tersaji, begitu kuat. Tapi saya berusaha keras mendikte nalar; mereka perempuan, bukan penganan, bukan menu, mereka juga perempuan.