Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Istriku Jalang Mengejar Lajang

4 Mei 2010   14:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25 1953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_133139" align="alignleft" width="153" caption="Jadilah perempuan sebagai seorang perempuan [Ilustrasi: Mahdi Abdullah"]"][/caption]Tidak semua kedekatan berbuah kebaikan. Tidak setiap hal yang jauh akan terus jauh. Seperti juga keburukan belum tentu terhalang oleh jarak yang jauh.

***

Pekerja aspal yang sering ke rumah Laila makin sering singgah ke sana. Apalagi mereka juga bisa hilangkan penat dalam pekerjaan di bawah matahari itu di rumah seorang perempuan yang begitu ramah. Perempuan yang ramah hanya pada lelaki yang datang dari luar rumah. Keramahan Laila akan selalu ada untuk siapapun lelaki yang selain suaminya. Sedang Hasan, hanya bisa mendapatkan keramahan Laila seperti musafir di padang pasir yang merindukan hujan. Sesekali saja hujan itu turun. Ketika misal Haji Indah sedang sembuh dari pelitnya, Hasan bisa membawa pulang uang lebih banyak dari biasanya. Di sini, Laila bisa dengan begitu menggoda dengan sejuta mantera manja yang bisa membuat suaminya sejenak terbang ke syurga. Dan itu juga hanya tiba pada bulan kelima setelah kelahiran Jannah. Selebihnya Laila akan kembali pada tabiat seorang perempuan serakah yang hanya tahu indah desah. Bersama lelaki lain yang dikiranya lebih gagah.

***

Hasan pulang sekira lepas ashar, di Aceh berkisar jam 4 sore. Ditangannya ia menjinjing beberapa buah apel dalam plastik kresek. Jenis buah yang memang dipandang mewah oleh masyarakat di Gampoeng Pulo Raya itu. Oleh-oleh itu dibawa pulang Hasan dari Meulaboh yang saat itu masih menjadi pusat ibukota kabupaten, sebelum adanya Nagan Raya sebagai kabupaten pemekaran pada awal 2000an. Masyarakat gampoeng di sini sangat jarang bisa ke pusat kabupaten karena memang mereka tidak memiliki kepentingan apa-apa ke sana. Nah, kalau ada yang diketahui pulang dari sana pasti layak untuk berbangga karena jarang ada warga yang keluar dari desanya. Demikian juga dengan  yang dirasakan Hasan. Dari gaya ia berjalan orang-orang gampoeng pasti langsung bisa menebak kalau ia pasti baru pulang dari jauh, pusat kabupaten. Makanya sepanjang jalan, apalagi dengan bungkusan di tangan, walaupun mereka sudah bisa menduga tetap saja mereka tanya lagi: "Panee kajak? (darimana)" "Ban kujak meulaboh bunoe cek.(Baru dari Meulaboh, Pak)" Dan itu dijawab Hasan dengan senyum dikulum, karena dalam hatinya terus membayang, istrinya pasti sangat senang kalau ia pulang dengan jinjingan di tangan. Dari ujung jalan desa ke rumahnya, Hasan harus menempuh perjalanan 2 Kilometer jauhnya, hanya dengan jalan kaki. Setiba di rumah. Ia heran, kok sepi? Dibukanya pintu yang terkunci dari luar. Masuk ke dalam dilihatnya ayunan Jannah. Si kecil itu masih [caption id="attachment_133141" align="alignright" width="328" caption="Kemana ibumu, Nak?"][/caption] tertidur pulas di ayunan yang hanya berupa kain yang diikat ke balok kecil sebesar lengan di atap,  dengan tali sebesar telunjuk orang dewasa di ruang depan. Si Sulung Ramat yang juga masih balita itu tertidur sendiri di kamar dengan hanya mengenakan baju saja, tidak bercelana. Makin heran si Hasan. Tak pelak, ia menahan geram, kenapa Laila meninggalkan kedua anak mereka begitu saja. Hasan menggerutu,"Kemana pula si Laila." Lemas ia terduduk di kurusi awee yang ia tarik ke dekat ayunan Jannah. Beberapa jenak ia duduk di sana, Jannah kecil yang belum setengah tahun itu teriak nangis. Ia terjaga seiring air kencing perempuan kecil ini turun dari sela-sela sisi bawah kain ayunannya. Dengan sigap, Hasan mengayunkan kembali ayunan anaknya tanpa melihat ke dalam. Mungkin karena Jannah kecil sedang tidak nyaman dengan air kencingnya sendiri, justru ia makin keras menangis. Baru Hasan membuka kain ayunan anaknya, agak terkesiap juga lelaki ini karena melihat di atas badan mungil Jannah tergeletak selembar kertas. Diambilnya, ternyata surat dari Laila; Bang Hasan Dek Laila tidak bisa lagi lama-lama dengan Abang Hasan. Kita sudah punya 2 anak. Tetapi kita tdk bisa lagi bersama-sama lagi besarkan anak-anak kita. Dek Laila pergi tapi jangan tanya siapa-siapa karena tidak akan ada yang tahu. Juga jangan tanya untuk apa Dek Laila pergi. Abang pun sudah sering tidak bisa beri belanja yang cukup. Jadi biar Adek Laila pergi, Abang ihlas saja ya. Nanti anak-anak itu pasti saya saweue (lihat) sesekali. Selembar surat yang sebenarnya banyak terjadi kesalahan penulisan. Untuk nama sendiri saja beberapa kali tertulis lila, ada juga lala. Maklum, ia hanya sekolah sampai SD saja kelas 3. Terang saja, Hasan tercekat. Ia terdiam. Tangis si kecil, Jannah yang begitu keras tidak lagi begitu terdengar meskipun begitu dekat dengannya. Hasan terduduk dengan berlutut dengan tangan kanan yang masih memegang ayunan anaknya dan tangan kiri yang memegang surat yang ditulis pensil itu. Kertas dan pensil yang nyaris bisa dipastikan milik anaknya Mak Teh yang masih SD. Tidak ia pedulikan sebagian kaki sampai lututnya mengenai genangan kencing si kecil, Jannah. Tangisan keras Jannah, ikut membuat Ramat juga terbangun. Ketakutan sendiri di kamar, segera ia lari ke depan. Sambil menyeka mata lucunya, bocah kecil ini menanyakan ke ayahnya,"Yah, mak hoe yah? (Yah, Ibu kemana Ayah?)"

—————-

To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku

Sumber Gambar: di sini dan di sini juga sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun