[caption id="attachment_133593" align="alignleft" width="300" caption="Ada luka dan ada airmata, tetapi hidup sebenarnya bukan sandiwara"][/caption] Seharusnya melawan nasib tidak bermakna melawan kebenaran. Menentang nasib tidak mesti melawan suara nurani. Tetapi kedunguan menjadi karib, sehingga anak manusia kian terpuruk dalam kubangan nasib, yang terlihat seperti cambuk setan yang mencambuk dengan cara yang tak berperi.
***
Perempuan itu sedang mengguyuri tubuhnya di sumur. Tanpa menggunakan sabun. Hanya batu kecil yang sedikit kasar yang dipergunakan untuk bersihkan daki. Dia adalah Laila yang sedang menjalankan petualangannya untuk mengejar lelaki yang ia cinta dengan meninggalkan 2 anaknya yang masih balita. Tinggal di sebuah rumah nenek yang memiliki 3 cucu. Menjalankan adegan drama yang sangat kentara ia reka-reka. Hingga bisa kibuli ibu tua yang sepanjang hidupnya hanya ia habiskan di desa. Hampir saban hari, agar ibu tua itu kian iba, Laila selalu jejalinya dengan berbagai cerita tentang suaminya yang ia sebut sudah meninggal dunia. Perempuan tua itu memang perempuan yang tidak terbiasa berpikir buruk. Ia mudah percaya pada siapa saja. Mudah terketuk hatinya melihat orang yang menderita. Tak pernah ia kuasa melihat orang yang teraniaya. "Dulu, saat suamiku masih hidup. Ia suka mabuk, main perempuan dan suka main pukul. Aku berkali-kali dipukulnya sampai pingsan, Mak." Laila sudah memanggil perempuan itu juga dengan panggilan Mak."Bahkan untuk belanja sehari-hari saja tidak pernah ia berikan. Pernah terpikir untuk lari saja, tapi aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak terbiasa untuk melawan suami. Dari kecil ibuku sudah wasiatkan aku untuk tidak pernah sakiti hati suami, Mak. Walaupun dengan diam begitu, aku merasa begitu tersiksa..." Airmata mengucur deras dari perempuan bernama Laila ini. Sulit dimengerti bagaimana ia bisa memproduksi airmata deras melebihi aliran air di samudera. Orang-orang menyebut bahwa airmata adalah pertanda kelembutan jiwa. Manusia yang berhati keras disebutkan tidak akan pernah bisa keluarkan airmata karena logika mata air hanya keluar dari bagian tanah yang lembut, seperti airmata yang hanya akan keluar ketika seseorang memiliki hati lembut. Tetapi melogikakan sandiwara hanya membuat pikiran kalut dan hati kusut sedangkan cerita hidup takkan pernah bisa dengan mudah dilepaskan dari pemandangan semrawut. Perempuan tua yang mengira cerita Laila adalah nyata berkali-kali harus menyeka airmata. Apalagi mereka sama-sama wanita. Mungkin perasaan sebagai manusia yang berkelamin sama, yang tahu persis kelebihan dan kekurangannya sampai berpikir bahwa untuk perempuan yang pernah teraniaya seperti itu wajar membuat hati iba. 'Sudahlah neuek (nak). Sebaiknya jangan sebut-sebut lagi kesalahan lakoe gata (suamimu). Walaupun ia ketika hidup pernah bersalah, tetapi ia sudah tiada. Kasihan ia di sana, tersiksa jika engkau belum bisa maafkan dia. Lagi juga, ia tidak akan pernah bisa hidup lagi. Lupakan saja semua kesalahannya, ya nak?" Seketika, untuk menguatkan drama yang asli drama meski tidak dipentaskan di panggung penuh dengan lampu warna, seketika Laila memeluk perempuan tua itu untuk melengkapi peran rekaannya. Nek Aminah, perempuan tua itu memeluk Laila dengan tulus. Bagaimana dengan Laila? Dalam hati ia menggerutu karena tubuh Nek Minah bau tembakau. Maklum perempuan Aceh yang sudah tua memang suka bersugi (sugoe bakoeng). Efek dari sugoe bakoeng bisa dipastikan akan membuat aroma tubuh bersenyawa dengan aroma tembakau. Perempuan-perempuan di Aceh suka bersugi karena dengan bersugi itu setidaknya bisa membuatnya mulutnya lebih enak, tidak merasakan gatal di gusi. Di samping pajoeh ranup (makan sirih) yang juga merupakan selingan pelengkap yang diolah dengan kapur sirih dan gambee (gambir) dan pineueng teuplah (pinang yang sudah dibelah kecil-kecil). Untuk nenek-nenek seperti Nek Minah yang sudah uzur demikian biasanya sirihnya tidak langsung dimakan, tapi harus dihancurkan dulu menggunakan cubek, alat berbentuk pompa kecil yang berukuran lingkar 2 jari dan panjang 2 jengkal dan penumbuk yang terkadang dioleh dari besi dan membentuk seperti obeng. Selesai acara tangis menangis. Nek Minah bersiap-siap pergi ke kecamatan untuk menjual boh itek (telur itik). Menjual telur itik menjadi profesi perempuan tua ini untuk mendapatkan pemasukan guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Terkadang, selama Laila sudah bersamanya, ia akrab juga diajak Nek Minah untuk ke peukan (pasar) untuk kegiatan dimaksud. Tetapi kali ini, Nek Minah memilih berangkat sendiri ke kecamatan yang berjarak 6 Km dari Gampoeng Suak Awee, dan harus mempergunakan alat transportasi berupa rakit untuk bisa menyeberang ke peukan di kecamatan. Pilihan disebabkan dalam tradisi ureueng gampoeng (sebutan untuk orang di desa di Aceh), seumaloe atawa pantang rumah ditinggal tanpa penghuni. Apalagi 3 cucunya sedang diajak orangtua mereka untuk ke gunung, menderes karet. Tinggal Laila sendiri saja di rumah itu. Sedang di seberang rumah itu, seorang lelaki yang sudah 8 tahun memilih menduda, dalam beberapa hari ini terlihat mulai akrab dengan Laila. Berkali-kali lelaki bernama Do Rani menyebut kalau istrinya dulu sangat mirip dengan Laila. Tetapi tidak terlalu dipedulikan Laila karena ia tidak tertarik dengan lelaki itu. Mungkin disebabkan badan lelaki ini tidak enak dilihat. Apalagi sekujur tubuhnya penuh dengan panu yang membuat mata sulit membedakan kulit asli dengan kulit panu. Tapi laila sudah mulai bisa menangkap gelagat kalau lelaki itu sudah mulai menaruh hati padanya. Apalagi, Do Rani kerap pulang dari kebun karetnya lebih awal daripada umumnya masyarakat yang bekerja sebagai penderes karet. Setiap pulang dari seumeusie (untuk menyebut kegiatan menderes), tanpa mengenakan baju, selain kain sarung saja yang menutup pinggang sampai lutut, Do Rani pasti datang ke rumah Nek Minah sekedar untuk bisa ajak Laila bicara. Kalaupun ada Nek Minah di sana, tetap Do Rani tidak ambil peduli walaupun nenek itu tidak suka ada lelaki dan perempuan yang bukan suami istri berakrab-akrab ria. [caption id="attachment_133606" align="alignleft" width="260" caption="Bismilu, huuuuuuuuuuuuu"][/caption] Seperti itu pula yang dilakukan Do Rani hari itu. Bertandang ke sana lagi seperti biasanya. Setelah tadi malam ia merapal mati-matian mantera yang ia dapat dari Lem Ngoeh Jali, pamannya yang memang selalu menganjurkan Do Rani untuk tidak berlama-lama lagi menduda. bismila bismilu patah langet keubeue bahu bismilu nyan bungoeng meulu hate glap, babah jeut ke bisu cit lon sidroe nyang jeuet jih rindu kutupu, kutupu, kutupu huuuuuuuuuuu Pffffffffffff, setiap selesai rapalan itu, ditiupkan ke telapak tangan dan diusapkan ke seluruh tubuh. Itu dilakukan Do Rani tadi malam tanpa mengenakan selembar benang pun. Karena untuk pergunakan mantera ini tidak diperkenankan dibaca dalam keadaan berpenutup di tubuh. Selain, 3 hari sebelumnya tidak diperkenankan juga untuk mandi dan setiap tidur harus meletakkan al Quran di sisi kaki. Merasa mantera itu pasti akan menunjukkan keampuhannya. Dengan penuh keyakinan, Do Rani melangkah ke depan pintu. "Hoe ureueng? (Ada orang di dalam?)" Tidak ada sahutan. "Mak Minah...? Laila?" Sambil mengetuk pintu dengan suara keras, tetap juga tidak ada jawaban. Pintu yang hanya diganjal dengan leusoeng (lesung penumbuk tepung dari balok kayu seukuran televisi 15 inch) didorongnya pelan. Baru saja ia masuk beberapa langkah, dari arah depan sudah muncul Laila yang baru saja ke lampoeh (kebun) untuk memetik boh pik, boh trueng dan oen ubi. "Ai pue nyan tamoeng lam rumoeh gop hana lakee idin? (Kenapa harus seperti itu, masuk ke rumah orang tanpa permisi?)" Ujar Laila dengan wajah masam. Sedikit terkejut Do Rani mendapati Laila justru datang dari luar rumah. Gurat kecewa menyemburat dari wajah Do Rani. Sebab mantera yang sudah dirapalnya itu memiliki pantangan, orang yang dituju tidak boleh datang dari sisi belakang perapal. Sebab berisiko pajoeh droe (menyasar diri sendiri). Benar saja, ingat itu membuat Do Rani panik. Bergegas lelaki penuh panu di sekujur badannya itu berlari pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian agar bisa ke rumah Lem Ngoeh Jali yang terletak di Gampoeng Seumantoek, 13 Km dari gampoengnya. Karena cuma Lem Ngoeh Jali yang memiliki penangkal kalau mantera tersebut pajoeh droe. Tak lama, dengan langkah tergesa-gesa Do Rani pergi ke Seumantoek hanya dengan jalan kaki. Karena saat itu belum ada kendaraan umum. Sepeda saja cuma dimiliki kepala desa dan Toke Manan, tengkulak yang menampung karet warga gampoeng. Dan Laila, terus saja ke dapur untuk memasak sayuran yang baru dipetik dari kebun. Sambil mengiris-iris boh pik (sayur berbentuk bersegi-segi, biasanya hampir sama besar dengan terong), ia tetap melanjutkan makian yang ditujukan untuk Do Rani, walaupun beberapa hari lalu mereka masih akrab. Tapi kali ini Laila berang karena melihat ulah lelaki itu sudah terlalu berlebihan,"nyan ban rupa agam ka galak keu gop. Jumoeh peunoeh gluem meunan pih jak sak-sak droe. Hana lhoeh droe bak kubang keubeue, (Lelaki model begitu suka ke orang. Badan penuh panu pun tawari diri. Kenapa tidak bercermin dulu di air bekas kerbau berkubang).
***
Lain cerita dengan Hasan. Warga makin banyak yang menaruh simpati padanya. Mengetahui ia ditinggal [caption id="attachment_133600" align="alignright" width="300" caption="Jangan remukkan hati malaikat kecil ini, Tuhan"][/caption] istri begitu saja, sebagian menganjurkannya untuk segera cari istri lagi. Walaupun belum resmi cerai, tapi dipandang sah kalau Hasan berminat untuk mencari pengganti Laila. Apalagi keadaan Mak Keudee yang sekarang sakit. Tetapi semua anjuran itu tidak menggoyahkan Hasan. Cuma, penolakannya bukan karena ia terlalu dalam mencintai Laila. Namun lebih karena ia teringat dengan nasib diri sendiri. Dulu, karena Bapaknya, Tgk Manggeng kawin sampai 4. Ia menjadi anak yang tidak pernah mandapatkan kasih sayang berarti dari orangtuanya, sudah pasti juga dari ibu tirinya yang menolak Hasan karena berpikir suaminya hanya seorang utoeh (tukang bangunan) yang tidak akan sanggup menanggung makan anak itu. Gilanya, Tgk Manggeng memilih untuk mendengar begitu saja pandangan istri mudanya. Maka jadilah 2 anak kandungnya Hasan dan Mak Nu di serahkan ke saudara-saudaranya. Ini dibenarkan oleh tradisi Aceh kala itu, kalau ada keluarga punya anak tetapi tidak mampu menghidupi, bisa diserahkan pada keluarga yang lebih mampu. Disia-siakan ibu tiri yang membuat Hasan bertekad untuk menikah cukup sekali saja. Ia tidak ingin Ramat dan Jannah sampai merasakan perihnya hidup seperti yang pernah dialaminya. Sering ia berdalih pada orang-orang yang menawarinya,"bah kee dilee nyeung rasa hudep ngoen mak moe, bek lee roeh bak aneuek-aneuek kee. (Cukup aku saja yang dulu memiliki cerita hidup dengan ibu tiri, jangan sampai dirasakan juga oleh anak-anakku)." Biasanya kalau Hasan sudah menegaskan seperti itu, tidak akan ada lagi yang mendesak. Termasuk Geuchik Sani yang memiliki anak gadis yang sudah berusia 18 tahun, kebetulan sedang menunggu datangnya lintoe (suami). Juga dengan halus ditolak oleh Hasan. Padahal kalau saja bukan karena ia gelap mata teringat perlakuan ibu tirinya sendiri, Dara yang merupakan anak kepala desanya itu sangat tidak layak untuk di tolak. Selain karena gadis cantik itu memang memiliki kecantikan yang jauh di atas Laila. Juga dalam catatan sejarah keluarga mereka belum pernah ada yang meubagoe-bagoe (macam-macam). Dalam arti, dari sejak masa kakek nenek keluarga itu dikenal sebagai keluarga yang taat dan sangat baik pada orang-orang. Sayangnya, Hasan tidak bisa lagi melihat jernih. Yang ada di pikirannya hanya bayangan buruk masa lalu. Ia berpikir bahwa mencari ibu lain untuk anak-anaknya hanya akan membuat mereka sama sengsara seperti pernah dialaminya. Geuchik Sani, walaupun Hasan bisa disebut tidak pernah shalat, tetapi ia yakin lelaki itu baik dan penuh dengan kasih sayang. Tapi, apa hendak dikata, Hasan sudah menolak bulat-bulat. Sebagai pilihan terakhir, karena memang Geuchik Sani sangat menaruh prihatin pada lelaki ini. Ia sarankan Hasan untuk serahkan 2 anaknya itu kepada dirinya. "Bah lon rawat mantoeng 2 manyak nyoe. Kamoe pih cuma 2 droe aneuek nyeung ka rayeuek-rayeuek. Hawa cit keue aneuek cut. Insya Allah, Mak jih eik dirawat sinyak puteh hatee nyan. Pakiban, jeuet Neuek? (Biar saya saja yang rawat 2 anak ini. Kami juga cuma punya 2 anak yang sudah besar. Sekarang ingin juga lagi bisa miliki anak kecil. Insya Allah, istriku sanggup untuk merawat kedua mereka. Bagaimana, boleh nak?)" Tetap saja, tawaran Geuchik Sani hanya membuat Hasan terkenang kembali seperti apa kehidupannya bersama Cek Dolah. Walaupun pamannya itu baik, tetap saja, ia punya istri yang memiliki hati tidak sepertinya, sehingga dulu ketika kecil Hasan acap meringis sendiri menahan lapar yang terkadang hanya diganjalnya dengan boh meuria (buah rumbia) yang ia cari di pinggir-pinggir sawah. Maka, tawaran terakhir itu juga ditolak Hasan. Ia bersiteguh dengan keinginannya untuk menjaga sendiri anaknya. Walaupun beberapa hari ini ia terpaksa tidak berangkat kerja, oleh sebab Mak Keudee sedang sakit. Penyakit khas orang yang sudah uzur. Menariknya, Mak Keudee ini walaupun ia sakit namun dalam hal ibadah tidak pernah ia tinggalkan. Kalaupun tidak sanggup ia lakukan dengan berdiri, ia tetap shalat walaupun sambil duduk. Ia juga sering menyuruh Hasan untuk shalat, cuma karena Hasan tidak pernah tahu tentang pentingnya shalat, makanya ia hanya mengiyakan saja tanpa melakukannya sama sekali. Dalam konsep ia sendiri, tidak mengganggu orang, tidak merugikan orang, tidak sakiti orang, tidak lakukan hal-hal buruk, habeh peukara (masalah selesai). Dalam beberapa hari ia tidak bekerja, harus merawat 2 anak dan Mak Keudee yang jatuh sakit seperti itu tidak membuatnya kehilangan akal dan panik cuma karena persoalan rezeki. Dan memang, Geuchik Sani, walaupun sudah 2 tawarannya ditolak Hasan namun tetap peduli pada lelaki yang baru menjadi ayah itu. Sekarang, sekarung beras dipanggulnya sendiri. Walaupun secara usia ia sudah tidak muda lagi. Padahal bisa saja lelaki yang sudah layak disebut kakek itu menyuruh orang lain untuk mengantarkan ke rumah Hasan, atau misal meminta Hasan sendiri yang mengambilnya ke rumah. Tapi ia pilih lakukan sendiri, karena justru dengan begitu ia yakini Hasan bisa merasa lebih dihargai. Sekaligus mempertegas, menghormati itu tidak selalu yang lebih atas. Justru lebih muda, lebih miskin, lebih lemah juga layak untuk dihargai. Tiba di gudang yang sekarang menjadi tempat Hasan berdiam bersama anak-anak dan Mak Keudee yang sedang sakit, Geuchik Sani serahkan sekarung beras itu dengan senyum. Sebuah senyum yang bisa dipastikan sebagai isarat keikhlasan lelaki berhati malaikat itu. Hasan, walaupun ia lelaki, melihat pemandangan demikian tak urung menitikkan airmata, terharu. "Ngui ilee nyoe. Koen kupubloe, hana kupeu-utang. Nyoe jeuet kapajoeh ngoen aneuek-aneuek ngoen Mak Keudee. Lom gata teungoeh hana bisa jak keurija pasai Mak Keudee saket (Pakai saja ini--beras. Tidak kujual, tidak juga kuhutangkan. Ini untuk kau makan dengan anak-anak dan Mak Keudee)." Ujar kepala desa yang memiliki wajah teduh dengan senyum menyejukkan itu. Sambil meletakkan lembaran uang 10.000 di pangkuan lelaki muda didepannya yang sedang memangku Jannah. Si Kecil ini melihat wajah ayahnya berlinang airmata dengan sorot mata heran. To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku
Sumber Gambar: di sini dan di sini juga sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H