[caption id="attachment_46762" align="alignleft" width="242" caption="Jangan mencari pembenaran untuk kegagalan membaca abjad kehidupan (fickar10)"][/caption] Hidup menjadi aksara yang tidak bisa terbaca oleh semua manusia. Hidup juga diterjemahkan sebagai huruf yang terlalu sulit untuk dijadikan kata. Wajah-wajah yang hanya tertunduk lemah dalam keputusasaan, menjadi penguat atas pengakuan yang menjadi bendera putih untuk menyerah. Hidup seperti hierogliph, susunan aksara yang butuh waktu sangat lama melebihi usia yang kita punya, agar ia bisa terbaca. Demikian ungkap mereka yang berzikir dengan menyebut nama Tuhan sebagai Yang Maha Kejam. Koran-koran yang saban hari dibaca tidak menjadi peluru-peluru untuk ditembakkan ke kepalanya, agar hancur kepala yang bersujud pada kebodohan. Buku-buku tidak menjadi pedang untuk memenggal lehernya agar kepala terpisah dari tubuh yang enggan bergerak melangkah ke depan. Sedangkan kuliah-kuliah, baik dari kampus maupun obrolan dengan tukang becak, kuli bangunan, pedagang sayur tidak menjadi mandau yang membabat hati dari penindasan kerisauan yang tidak perlu. Hanya pembenaran yang dijadikan rencong untuk ditusukkan di dadanya. Ditusukkan tidak untuk mengoyak dada agar bisa diambil semua usus, hati, jantung dan paru-paru untuk dicuci di mata air paling jernih kejujuran. Tetapi rencong itu malah dijadikan senjata untuk bunuh diri. Hierogliph kehidupan masih dirasa terlalu berat untuk terbaca. Maka memaki-maki Tuhan, menyalahkan lingkungan, menyalahkan nasib, mencerca keterbatasan menjadi bahan obrolan yang membuat hidup kian jauh dari gairah yang bisa membakarnya untuk menjadi debu. Mereka ragu jika debu tubuh berdakinya itu tidak akan dihembuskan oleh angin kebaikan. Tetapi dari sejak pagi buta, kecurigaan bahwa debunya akan dibawa angin ke angkasa tanpa rasa, tanpa cinta, teryakini olehnya. Pernah beberapa kali ia berada di seminar-seminar tentang bagaimana menjadi manusia. Tetapi berdalih lobang telinga diciptakan Tuhan terlalu kecil, sehingga tidak mampu mendengar dengan baik semua tutur tentang keberanian. Tentang keyakinan dan tentang harapan. Lantas ia juga mengatakan pada orang-orang, hidup itu tidak butuh harapan. Kelak kesewenang-wenangan Tuhan malah akan membuat harapan itu hanya sebagai mimpi kosong. Ia juga gagal mendengar, bahwa Tuhan memberikan seperti apa yang diyakini olehnya. Kesalahan yang paling sering terjadi, ternyata tidak hanya pada ketidakmauan untuk membaca semua aksara kehidupan. Tetapi kebebalan untuk tidak mengizinkan telinga mendengar cerita tentang kebenaran. Keangkuhan menjadi kawan setia, maka ketika beberapa manusia mengajak berbicara tentang hidup, lalu menyebut mereka terlalu bangga pada diri sendiri. Sehingga berani mengajarkan tentang hidup pada dirinya. Semua manusia yang ditakdirkan menjadi guru malah menjadi sasaran tamparan mereka. Tamparan itu sebenarnya terlalu pedas. Tetapi mereka lupa, tamparan itu yang membuat manusia pilihan Tuhan untuk mengajari tentang hidup, mati. Satu persatu mati, hanya oleh tamparannya. Kematian para guru itu kemudian dipandang sebagai keperkasaan. Sampai kemudian diapun mati tanpa memiliki guru yang tersisa untukmengajarkannya tentang hierohliph kehidupan.
***
Itulah suara-suara seperti di gedung pertunjukan drama yang muncul di ruang di balik dada. Terkadang saat mendengar suara itu, muncul kecurigaanku pada diri sendiri. Jangan-jangan suara itu menjadi satu cara Tuhan untuk memarahi kebebalanku sendiri. Iya, mungkin saja. Apalagi kuakui, begitu banyak ketololan yang sebenarnya juga telah aku tuliskan sendiri di buku kehidupanku. Meski tak bisa terbaca siapa-siapa. Tetapi mata batin selalu mendelik ke semua catatan itu. Jiwa ini terkadang kuberikan cemeti saat ia mengajak untuk berdansa dengan alunan nada kebebalan. Kucaci maki saat ia ingin tidur terus menerus untuk tidak menyibukkan diri membaca aksara kehidupan. Tetapi pelajaran kebjaksanaan yang kudapat dari beberapa guru-guru yang telah berbaring istirahat di seribu nirwana, memintaku mengehentikan penyiksaan pada diri sendiri. Lantas mengajarkan bahwa perubahan tidak perlu ditakutkan. Dan justru perubahan itu harus tetap ada, tidak hanya untuk menjadi lebih baik, terkadang jikapun terasakan hal yang lebih buruk. Itu disebut mereka dengan suaranya dari balik jendela syurga, sebagai pelajaran tambahan agar jiwa tak pernah letih untuk belajar. Pengalaman burukpun merupakan pelajaran. Sebab, untuk bisa memunculkan dedaunan yang hijau indah. Mendatangkan bunga yang indah mewangi, Tuhan dengan cara-Nya mendatangkan sapi-sapi liar sebagai bagian dari kehidupan untuk membuang kotoran persis di dekat akar kedirian. Kotoran itu selanjutnya yang memupuki diri. Semoga saja jiwa ini tidak menjadikan kotoran tersebut sebagai sarapan saat pagi. Namun bisa melihatnya sebagai cinta Tuhan atas perubahan yang menjadi hukumnya. Mungkin kelak daun hijau itu akan layu dan luruh, itupun tidak harus dikecewakan. Mengingat, daun luruh itupun bisa membusuk. Dan ia membantu akar-akar lain untuk tumbuh lebih kuat. Saat pohon itu tumbuh rindang dan indah, banyak makhluk Tuhan yang lain datang untuk bernaung. Kelak itupun menjadi catatan tambahan di buku Tuhan. Kematiankupun memiliki manfaat yang bisa ditinggalkan. Renungan Awal Tahun
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI