Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Guruku, Lelaki Tamatan SD

10 Agustus 2010   08:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:09 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_221638" align="alignleft" width="357" caption="Lelaki tangguh itu tak sekadar sebagai seorang bapak bagiku, tetapi juga sebagai seorang guru (Gbr: Pribadi)"][/caption] Seorang lelaki tangguh mengalirkan ketangguhan pada orang-orang yang terdekat dengannya. Maka keberuntunganku adalah kesempatan berayahkan seorang lelaki tangguh. Dia seorang lelaki desa yang lebih mencintai alamnya dari apapun. Alam yang berkisar pada meurabee, sebutan untuk kegiatan memilihara kerbau dan kambing dengan cara melepas dan kemudian menggiring pulang ketika waktunya. Yang ada di pikirannya adalah bisa berbuat yang terbaik untuk anak-anaknya. Tak heran, dibandingkan antara memilih untuk duduk bercengkrama dengan lelaki kampung lainnya dengan keluarga, ia memilih untuk lebih banyak berada di hadapan anak-anaknya. Dia, bapakku. Lelaki yang memiliki nama lengkap Ibnoe Abbas bin Abdullah Hajid itu lelaki yang sudah kupanggil dengan sebutan 'Bapak' dari sejak pertama lisanku bisa keluarkan suara. Sekarang usianya menjelang 60 tahun, tetapi masih menyimpan energi hidup yang sangat tinggi. Pelajaran pertama yang diajarkannya, ia tidak suka berada di bawah manusia lainnya meski dalam keseharian ia tetap menonjolkan sifatnya yang rendah hati. Karena ia memandang keningnya hanya layak bersimpuh sejajar dengan kakinya yang sudah semakin rapuh di hadapan Tuhan saja. tak pelak, prinsipnya demikian itu ternyata membawa buah yang bermacam-macam. Termasuk, ketika masa Orde Baru seisi gampoeng (baca: desa) disuruh aparat pemerintah untuk memilih partai berlambang pohon, ia memilih untuk terus terang katakan tidak. Alasan yang dikemukakannya diawali dari canda, pohon seperti itu cenderung lebih berbahaya saat hujan dan cepat disambar petir dan membawa kematian. Kekeraskepalaan itu yang kemudian kusadari mempengaruhiku juga, membawa lelaki ini ke tahanan. Di sana ia didera hunjaman sepatu lars dan bogem mentah polisi-polisi yang berkepala kosong dan hanya memiliki tempurung kepala untuk rambut tumbuh saja. Masyarakat mencibirku. Mereka menghina keluargaku. Hampir semua di sekitar rumah mencibir. Pilihan sikap pada politik pun kemudian dipandang sebagai sebuah dosa yang tidak lebih ringan dari pelacur yang membuka selangkangan serupa goa-goa penuh bangkai. Tapi, lelaki yang menjadi bapakku itu selalu tekankan,"Kenali pilihanmu, setia saja dengan pilihan itu, selama itu bukan sesuatu yang dilarang Tuhan." Tidak itu saja, untuk menjadi seorang lelaki idealnya seperti apa, dia selalu percayakan ku untuk bersikap sebagai seorang lelaki dalam hal apapun. Memang, kedekatanku dengannya dibanding 7 saudaraku lainnya memberi pengaruh kuat padaku, sampai mendapat julukan sebagai lelaki yang lebih lelaki dari banyak lelaki. Sedangkan untuk hidup, ia kerap bercerita tentang pilihan hidupnya yang dari sejak kecil memilih untuk bekerja. Sebab, jaman kecilnya, bergantung pada kekayaan orang tua menjadi satu hal yang memalukan. Maka, sejak usia 10 tahun ia sekolah  dan bekerja sendiri bahkan tidak pernah meminta untuk dibelikan pakaian oleh orang tuanya. Sampai kemudian ia dewasa, warisan tanah  dari orang tuanya juga ditolaknya,"Biar saja tanah itu untuk adik-adikku..." Pelajaran kekeraskepalaan? Kebebalan? Iya, tetapi kekeraskepalaan itu justru menjadi nilai kelelakian. Karena kekeraskepalaan itu bukan serta merta menutup diri untuk belajar dan mencari yang terbaik, itu yang diajarkannya. Ia lelaki lembut yang tak pertuhankan kelembutan sebagai satu-satunya pilihan,"Sebab benang tak bisa merajut kain-kain koyak, jika jarum selembut benang." Lalu, pada satu ketika ia berhasil membeli tanah, membangun rumah. Namun semua harus terjual untuk sebuah kebutuhan mendesak yang tak bisa dielak. Dan ia tak sungkan melakukan itu, tidak ada gurat penyesalan di wajahnya, meski hari ini ia menjadi lelaki miskin di sudut kota kecil Jeuram, di kabupaten terbaru, Nagan Raya di Aceh. Menjemput usia tua dengan wajah penuh ketegaran meski sudah tidak berbekal sepetak tanah pun, dan hanya bertempat di sebuah kontrakan 4x6 meter. Ketiadaan limpahan harta tidak bisa disebut sebagai kegagalan, dan itu bukan kemiskinan. Selama di jiwa masih bertempat harga diri. Ini yang diajarkannya. (ZA) ------------------ Catatan seorang anak tentang bapaknya. Bandung, 10 Agustus 2010 ----------------- Lagu yang menggambarkan cara ureueng Aceh menasehati anak-anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun