Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Festival Peunayong: Biksu dan Barongsai di Aceh

6 Mei 2011   22:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:00 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_107777" align="aligncenter" width="597" caption="Festival Peunayong: Kebersamaan Aceh dan etnis Tionghoa (Repro: Serambinews.com)"][/caption] Pernah mengenal Yap Thiam Hien, Pakar hukum kenamaan yang belakangan menjadi nama sebuah award bergengsi? Peunayong merupakan bagian catatan dari tokoh yang mendunia dalam kiprah dan dedikasinya dalam hal hukum tersebut. Yap seorang Tionghoa yang merupakan orang Aceh dari etnis China yang lahir di sudut kota Banda Aceh ini. Sudut kota yang sekarang sedang berlangsung sebuah festival dengan titel Festival Peunayong. Aceh yang sebelumnya hanya diidentikkan berbagai hal berbau Islam. Namun dalam festival ini, sesuatu yang boleh disebut kontras terjadi. Di sana, tadi malam terdapat iring-iring bikkhu, kera sakti dan peserta yang berpakai ala etnik China. Tarian Barongsai sendiri menjadi pembuka acara. Dengan ditampilkannya dua kelompok penari yang berpakaian naga, bercorak kuning dan merah Tarian Barongsai satu sisi terasa asing ketika itu diadakan di Aceh yang notabene kerap berhadapan dengan tudingan sebagai daerah "orang-orang keras kepala". Tetapi, Jumat malam (6/5), tarian khas etnik Tionghoa itu diadakan di Kota Serambi Mekkah itu. Jalan Ahmad Yani, Peunayong menjadi tempat tarian tersebut terselenggara. Animo masyarakat Aceh pun dalam melihat atraksi tersebut lumayan tinggi. Mengutip Atjeh Post, ribuan warga Banda Aceh tumpah ruah ke lokasi tersebut. Keramaian yang tergolong luar biasa ini, tak ayal sedikit membawa pengaruh pada ketidakleluasaan para penari Barongsai. Namun demikian, tidak mengurangi decak kagum warga Banda Aceh saat menyaksikan kegiatan tersebut. Ini merupakan bagian dari kegiatan peringatan Ulang Tahun Kota Banda Aceh ke 806. Angka yang menjadi penegas bahwa kota yang berada di ujung Sumatra ini sudah tergolong berusia senja. Usianya sudah jauh berada di atas usia republik. Berbagai referensi menyebutkan, bahwa Aceh dengan China sudah saling berbaur beratus-ratus tahun silam. Masyarakat Aceh pun memuji masyarakat etnis Tionghoa sebagai etnis yang gesit dan memiliki etos kerja luar biasa. Dan patut dicatat, pembauran ratusan tahun etnis tersebut dengan masyarakat Aceh tidak tanggung-tanggung. Hari ini, nyaris tidak ada dari etnis Tionghoa yang miskin di Aceh. Ini bisa disebut sebagai sebuah efek positif keterbukaan ureung Aceh. Penegas bahwa, dalam mencari rejeki, selama mereka tidak saling mengganggu, mereka leluasa dan berkesempatan bahkan untuk kaya. Meski pada sudut lain, masih banyak ureung Aceh yang berada dalam kemiskinan (per 2010 mencapai 20,98 persen). Perbedaan tingkat kesejahteraan demikian, layak untuk dicatat hampir tidak pernah memicu konflik antara masyarakat Aceh dengan etnis Tionghoa. Ini sekaligus penegas lebih lanjut, bahwa masing-masing berhak untuk mendapat hasil sebesar apa pun dalam semua usahanya. Selain itu, patut juga dicatat, dalam pembangunan mesjid bersejarah, Baiturrahman. Saat pembangunannya pun melibatkan salah satu arsitek beretnis tionghoa, Lie A Sie. Banyak catatan juga menyebut, bahkan yang menjadi pekerja pun sebagian besar berlatar belakang keturunan Tionghoa (Sumber: Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud-1991). Juga, terdapat lonceng Cakradonya, sebuah lonceng yang merupakan buah tangan dari seorang Laksamana dari kerajaan Tiongkok jaman dahulu, Zheng He atau acap juga dikenal dengan Cheng Ho. Tak pelak, Aceh dengan etnis Tionghoa layak disebut sebagai dua kutub suku bangsa yang sudah bisa menunjukkan semangat kebersamaan. Tanpa menyekat dengan latar belakang agama dan suku. Di Aceh, mereka lakoni kebersamaan itu. (ZA)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun