Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Wisnu dan Gengsi Penulis Blog

21 September 2010   15:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:04 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_264803" align="alignleft" width="300" caption="Ketulusan menulis selalu membawa buah, tidak untuk diri sendiri saja, tetapi juga negara (Gbr: Kompas.com)"][/caption] Dalam pemahaman Hindu, Wisnu adalah dewa berlengan empat dan memiliki 6 (enam) sifat ketuhanan, salah satunya yang pernah saya tahu adalah ia mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam. Tetapi, Wisnu yang saya angkat ini adalah seorang wartawan, seorang penulis dan seorang sosok pelit dalam penggunaan huruf kapital di Kompasiana. Figur santun yang akhir-akhir ini kian kerap mengisi perbincangan serius di televisi nasional, khususnya ketika berita yang diangkat bersentuhan dengan fenomena Pak Beye (sebutan yang dikenalkan Wisnu yang terinspirasi dari sosok Pak Mayar yang dikaguminya). Apa yang istimewa dari Wisnu dengan semua tendangannya? Berawal ketika peluncuran bukunya yang pertama dari Tetralogi Sisi Lain SBY yang digarapnya. Dari Bandung, kota yang selama ini menjadi tempat untuk saya menggelandang, saya berangkat ke Jakarta dengan mengikhlaskan jatah saya menyambangi warteg untuk disimpan agar bisa berhadir di perhelatan buku yang sering saya sebut sebagai buku penting sekaligus referensi yang takkan pernah hilang berkait sejarah bangsa ini sampai kapanpun. Keharusan yang saya tanam kuat di kepala, karena sebagai sesama penulis di forum yang sama, meski mungkin saya berada di kelas yang berbeda dengannya. [caption id="attachment_264837" align="alignright" width="300" caption="Dian Kelana, Wisnu dan saya saat peluncuran buku Pak Beye dan Istananya di Grand Indonesia beberapa bulan lalu (Gbr: Pribadi)"][/caption] Tapi, memang saya tanam agar setidaknya saya bisa belajar lebih dekat dari figur inspirasional tersebut. Dan kekaguman saya yang sudah ada sejak belum bertemu dengannya (selama ini saya hanya kontak via internet saja), kian bertambah ketika kemudian saya bisa menyimak langsung paparannya di ruang padat di Gramedia Grand Indonesia. Betapa semua yang ia tuliskan terasa lebih hidup. Istimewanya, kendati memang yang diceritakannya berkait dengan setiap sesuatu yang ada di balik proses ia 'mengandung' buku tersebut terlihat lebih hidup, tetapi tidak berarti yang dituliskannya tidak terlihat hidup. Justru, bukunya yang memang diberikan secara cuma-cuma ke saya itu (Pak Beye dan Istananya) tidak kalah dari semua yang dipaparkan. Bahkan, tidak berlebihan kalau saya sebut siapa saja akan terhipnotis dengan pola menulis dan cara ia menuturkan pengalamannya di buku tersebut selama ia menjadi jurnalis di istana negara. Melihat buku pertama itu, yang membuat saya kagum adalah kejeliannya menyimak dan meneliti setiap detail semua yang sempat dilihatnya di seputar istana. Terkadang saya melamun sambil membaca bukunya itu, kalau saya sendiri yang menjadi wartawan di istana, apakah saya bisa menulis seapik yang ia bisa? Tanpa bermaksud merendahkan diri sendiri, tetapi saya kira memang saya layak meragukan diri bahwa saya juga akan mampu membuat sebuah kumpulan catatan seperti yang sudah bisa Wisnu lakukan dalam bentuk buku itu. Bukti lain dari kebenaran saya meragukan diri itu, berapa banyak yang menjadi jurnalis di istana? Tetapi Wisnu saja yang sudah terlihat terang berhasil membuat buku yang fenomenal. Entah ini karena ia memang sudah lebih dahulu menyihir Pepih Nugraha, sampai kemudian jurnalis yang juga merupakan seniornya itu bisa dengan rendah hati pasang badan untuk sama-sama menggarap tulisan-tulisan Wisnu untuk kemudian menjadi buku. Tapi saya tidak meragukan, seorang Pepih yang sudah memiliki jam terbang tinggi di dunia jurnalistik itu tentu sudah memiliki sense lebih untuk menangkap kelebihan dari suatu tulisan, apalagi ketika tulisan yang diangkat itu adalah buah dari konsisten pada sebuah tema. Dan sangat masuk akal, Pak Haji itu dengan tulus berlelah-lelah menjadi editor buku sarjana filsafat Driyarkara bernama lengkap Anton Wisnu Nugroho itu. [caption id="attachment_264839" align="alignleft" width="300" caption="Saya bersama Effendi Ghazali saat ia menjadi pembicara di peluncuran buku Pak Beye dan Istananya di Grand Indonesia (Gbr: Pribadi)"][/caption] Ini tidak sekadar soal Wisnu yang kemudian menjadi seorang jurnalis yang naik kelas, lebih go public. Tetapi ini adalah soal efek baik sebagai lawan berbagai pandangan yang selama ini kerap dilemparkan ke muka penulis-penulis di blog. Bahwa penulis blog adalah penulis frustasi, penulis gagal muncul dan lain sebagainya yang negatif. Kemunculan Wisnu (tanpa menafikan beberapa blogger Kompasianer khususnya seperti Chappy Hakim dan Prayitno Ramelan, duo 'santri' Angkatan Udara), kian mengukuhkan bahwa, menulis, entah itu hanya di blog, ketika itu dilakukan secara tulus tetap akan membawa buah. Buktinya merujuk pada berita seperti dilansir kompas.com, sejak beredar di pasaran pada akhir Juli lalu, buku Pak Beye dan Istananya sudah dicetak empat kali dengan total buku 42.000 eksemplar (Selasa, 21 September 2010). Sedang hari ini, saya juga mendapati sebuah berita yang juga ikut saya syukuri sebagai salah seorang yang kerap belajar diam-diam dari sarjana filsafat yang tak pernah mengatakan diri sebagai filsuf itu, belum diluncurkan buku Pak Beye dan Politiknya sudah menjalani dua kali cetak ulang. Bagi saya ini sebuah prestasi yang sangat inspiratif. Buku Kedua Terkait buku kedua ini, saya kira tidak berlebihan jika Wisnu bertabur pujian. Seperti Effendi Ghazali yang juga menyanjung keberadaan buku Wisnu tersebut,"Orang yang sudah membaca buku pertama seperti akan tertarik membaca buku kedua ini," Selain itu, kekuatan buku Tetralogi Sisi Lain SBY terletak pada gaya bahasanya yang ringan dan berada di tengah-tengah. Setelah membaca buku ini, yang suka terhadap SBY akan semakin suka, begitu juga sebaliknya. "Gaya bahasanya gaya Inu, gaya Kompas dan gaya Jawa. Tidak membuat sakit hati siapapun," ungkap Effendi yang pada peluncuran buku seri pertama juga didaulat menjadi pembedah, seperti dikutip kompas.com. Saya sendiri sangat merekomendasikan buku ini ke beberapa teman. Bukan karena soal saya sudah saling kenal dengan sosok Wisnu, tetapi saya kira bagi siapa saja yang peduli terhadap seperti apa perjalanan negeri ini, buah tangan Wisnu tersebut memang sangat layak dijadikan bagian bacaan tambahan lepas apapun genre buku yang diminati pecinta buku di negeri ini. Sayang sekali, meski saya sudah berjuang untuk bisa hadir ke Jakarta dengan menumpang mobil ibu angkat saya dari Bandung. Tetapi setiba di Cibubur, malah saya terhalang untuk bisa datang ke Matraman tempat buku kedua Wisnu diluncurkan. Namun begitu, tak kurang, saya terus mengikuti perkembangan prestasi Wisnu ini baik dari televisi maupun dari berbagai reportase media. Semoga sukses selalu untuknya, dan sukses untuk semua penulis blog. Tidak ada lagi yang harus membuat rendah diri ketika Anda sudah masuk dalam dunia kepenulisan, meski selama ini belum pernah masuk media mainstream. Sebab, buah yang sudah didapat Wisnu tidak sekadar karena latar belakangnya sebagai jurnalis dan kedekatannya dengan sosok sekaliber Pepih Nugraha, tetapi ini lebih karena konsistensi dan ketulusan Wisnu untuk memberi. Saya perhatikan energi itu yang membuat Wisnu kian muncul ke permukaan ranah publik nusantara ini. Jakarta, 21 Sept 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun