[caption id="attachment_273017" align="alignleft" width="300" caption="Beberapa penduduk gampoeng dalam acara duek pakat (Gbr: kaskus.us)"][/caption] Di ruangan yang bisa berada di mana saja, ureung gampoeng (sebutan untuk masyarakat di pedesaan) duduk bersama tanpa membedakan lelaki dan perempuan. Biasanya ditemani dengan sajian kopi dan bue lukat atawa ketan yang diaduk dengan kelapa. Di sana, mereka membahas apa saja yang berhubungan dengan masalah upacara keagamaan, keluarga sampai masalah gampoeng. Duek pakat menjadi tradisi yang ratusan tahun mengtradisi di tengah-tengah masyarakat Aceh. Dipertahankan secara turun temurun dan sudah dipandang sebagai bagian khas ureueng Aceh. Sebuah tradisi yang memang tidak jauh beda dengan model musyawarah pada umumnya dilakukan masyarakat nusantara lainnya. Hanya saja terdapat kekhasan yang unik dari duek pakat ketika di sana dibumbui dengan berbagai pantun ala ureueng Aceh yang terkadang menjadi jawaban atas masalah yang sedang dibahas. Memang, laiknya musyawarah yang bisa saja berisi perdebatan, tetapi kepiawaian beberapa tetua gampoeng yang piawai dengan pantun bisa membantu memecahkan kebekuan yang ada. Biasanya, untuk berjalannya proses itu, jika duek pakat yang dilakukan berhubungan dengan apa saja, tanpa perlu komando dari siapa pun, seringnya akan ada sebagian ureueng gampoeng yang pasang badan menderma kopi dan gula, termasuk kelapa yang sudah diparut. Sedang yang lain juga beberapa akan menyediakan diri untuk memasak air dan mengolah makanan untuk kemudian disajikan di hadapan peserta duek pakat. Cuma, terkadang yang sering berinisiatif sendiri untuk menjadi tukang saji dan tukang masak adalah masyarakat yang merasa dirinya hanya bisa menyumbang tenaga, dalam arti mereka sudah mengukur kemampuan diri dalam berpikir. Karena memang duek pakat itu lebih banyak berfungsi untuk saling curah pikiran, mereka yang tadi merasa berkemampuan di bawah dalam berpikir tidak serta merta hanya dipersilakan untuk memenuhi kemeriahan acara duek pakat dengan makanan dan kopi saja. Tetua gampoeng tetap akan dengan hormat meminta pandangan dari mereka ini. Meski pilihan terakhir tersebut lebih sebagai wujud menghargai mereka sebagai ureueng gampoeng yang juga memiliki hak untuk berbicara dan mengeluarkan pandangannya. Kendati, keterbatasan wawasan dan pikiran mereka, acap sekali terjadi mereka berbicara tanpa struktur sama sekali. Namun, walaupun memang mungkin ada yang menggelikan dari mereka, biasanya tetap tidak akan diremehkan. Justru jika ada yang meremehkan, tetua gampoeng akan menegur. [caption id="attachment_273031" align="alignright" width="286" caption="Ini hanya gambar untuk memenuhi selera narsis dengan bergaya sebagai Kepala Desa atawa Geuchik saat memimpin Duek Pakat (Gbr: Pribadi)"][/caption] Ada beberapa yang menarik, lelaki sepuh yang meskipun secara usia sudah demikian renta namun biasanya selama mereka masih bisa bergerak, ia tetap akan berusaha untuk bisa hadir. Baik acara duek pakat itu diadakan di jamboe blang di sawah, di mesjid atau rumah tetangga di ujung gampoeng sekalipun. Dan mereka yang menjadi sesepuh gampoeng ini akan dimintakan pandangan terakhir sekali sebagai pengambil kesimpulan dari semua pendapat dalam proses duek pakat tersebut. Cuman ini tidak berarti bahwa mereka tertutup kemungkinan untuk bicara dari sejak awal acara itu dimulai, hanya itu sebagai sebuah kelaziman saja. Bagaimana dengan kaum perempuan? Duek pakat yang dilakukan tidak akan meremehkan kaum perempuan, meski mungkin secara suara yang lebih banyak terdengar adalah suara ureueng agam gampoeng, tetap saja kaum perempuan diberi kesempatan untuk berbicara, mengeluarkan pandangan mereka terkait masalah yang sedang dibicarakan. Jika kemudian, selama proses duek pakat tidak ada dari kaum perempuan yang mengeluarkan pendapatnya. Bisa dipastikan aparat gampoeng atau siapa saja yang menjadi pemimpin duek pakat akan meminta suara dan pandangan dari kaum wanita dengan alasan filosofis,"Ureueng gampoeng nyoe koen ureueng agam mantoeng (orang desa ini tidak hanya lelaki saja; terj)." Meski, di banyak tempat, tidak sedikit kaum perempuan akan memilih menghindar bicara, paling hanya dengan alasan,"Kamoe jeuet deungoe mantoeng. Pue nyeung ka neubahah lee ureueng agam cit ka lagak that. Kamoe seureueta mantoeng (Kami cukup mendengar saja. Apa saja yang dibahas bapak-bapak sudah cukup bagus. Kami siap mendukung saja). Nah, jika yang terakhir ini menjadi alasan, nyaris bisa dipastikan beberapa kemungkinan. Bisa jadi karena ia seorang perempuan yang memang sangat ditekankan oleh keluarga bahwa ia sebagai perempuan harus menjadikan lelaki sebagai imam. Suaminya yang mungkin memiliki karakter tidak menyukai istrinya bicara di depan umum, atau bisa juga karena memang keterbatasan wawasan mereka. Namun, secara tradisi umum, perempuan tetap akan dimintakan pandangannya. Tak terkecuali--dalam sejarah--untuk menentukan kebijakan dalam perang sekalipun. Untuk sekarang, acara duek pakat ini lebih banyak diadakan yang berhubungan dengan upacara kematian, pernikahan, membangun mesjid dan beberapa keperluan lainnya yang tetap berhubungan dengan agama dan gampoeng. Jakarta, 29 Sept 2010 -------------- Lagu ureueng Aceh:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H