Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR Tertampar: Setelah Australia Lalu Jerman

27 April 2012   00:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13354857691113708574

[caption id="attachment_184491" align="aligncenter" width="640" caption="Komisi VIII yang 'diganyang' PPI Australia, 2011 (Gbr: Kemlu.Go.Id)"][/caption] Belum lekang dari ruang ingatan publik negeri ini ketika Komisi VIII DPR-RI melawat ke Australia. Di sana, mereka blingsatan dengan kekritisan mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Tanah Aborigin tersebut. Lantas, cerita yang persis serupa terulang kembali di Jerman. Ada apa?

Di Australia, 30 April 2011. Bertempat di Ruang Bhinneka Konsulat Jenderal RI, Melbourne, anggota DPR tersebut berhadap-hadapan dengan mahasiswa di bawah payung organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia-Australia (PPIA).

Berdasar catatan Teguh Iskanto yang diteruskan kepada Didi Rul dan dipublikasi di Kompasiana (3/5/2011), anggota DPR tersebut terlihat mencoba menarik simpati dari mahasiswa. Memberi mereka berbagai alasan atas berbagai persoalan yang missed dari yang bisa mereka perankan di Negeri Kanguru itu.

Laiknya mahasiswa, tentu saja mereka menjalankan peran mereka sebagai insan akademik yang lebih percaya data dari sekadar apa yang diucapkan. Tak pelak, mulai dari dana yang dikeluarkan untuk 11 anggota DPR dan 5 staf ahli disorot karena dinilai terlalu besar (811 juta untuk 6 hari; kritik disampaikan Bagus Nugroho). Soal 'sinyal' dari pemerintah Australia yang menurut anggota Komisi VIII tidak setuju mereka lakukan kunjungan ke Northern Territory (kawasan miskin di Australia). Juga, soal perlakuan pemerintah Indonesia yang cenderung diskriminatif kepada pengikut Syiah.

Tidak kurang, dan ini menjadi guyonan berbagai kalangan di luar negeri dan juga di dalam negeri; soal email yang diminta mahasiswa di PPIA. Email yang didapati mahasiswa itu masih mengandalkan Yahoo dan Gmail. Tidak terhenti begitu, saat beberapa mahasiswa mencoba, email yang diberikan pun ternyata sudah kadaluarsa.

Sontak, tidak lama setelah itu, 'pertarungan' Komisi VIII DPR RI dengan PPIA merebak di Indonesia menjadi perbincangan luas. Di berbagai stasiun televisi juga perihal itu dibincangkan, baik secara serius maupun dalam bentuk parodi yang mengundang gelak tawa. Sedang sumber info yang di-publish Didi Rul di Kompasiana meraup pengunjung sampai dengan 140.000 lebih pengunjung (lihat: Laporan Dialog Komisi VIII-PPIA).

Sedang yang baru-baru ini, di Jerman, peristiwa yang mirip juga terjadi dan itu saat mereka berhadapan dengan mahasiswa yang bernaung di Perhimpunan Pelajar Indonesia Jerman. Mereka bahkan dituding sebagai wakil rakyat yang tidak peka dengan perasaan rakyat. Sikap mereka dipandang mahasiswa---karena ikut membawa keluarga dalam kunjungan kerja itu---seperti orang kampung yang berbondong-bondong ke Jakarta. Tidak terhenti di sana, para mahasiswa itu memilih Walk Out, meninggalkan anggota DPR dari Komisi I yang hanya bisa perdengarkan gerutuan dan sebagian lain cuma bisa melongo.

DPR Tertampar.

Kedua peristiwa yang sama-sama dilakukan oleh mahasiswa Indonesia di luar negeri itu sedikitnya menjelaskan seperti apa DPR di mata mereka yang masih jujur melihat. Bahwa, penyebutan dewan terhormat tidak lebih sebagai sebutan dari anggota-anggota DPR dan ditujukan ke mereka sendiri. Bagaimana kehormatan mereka di mata rakyat? Tidak perlulah kita sebut lagi.

Kemudian lagi, terkait dengan sikap mahasiswa, apa yang telah mereka tunjukkan sudah menjadi cermin kepedulian besar atas apa yang dirasakan dan diteriaki rakyat di dalam negeri. Hanya saja, namanya di dalam, suara-suara yang melengking pun bisa diredam. Beda halnya dengan di luar demikian, gaungnya lebih menyebar dan lebih berpeluang untuk lebih tersorot. Nah, jika luar dalam tersorot, namun tidak ada culture yang berubah menjadi lebih baik di tubuh DPR, artinya, kita sebagai rakyat mungkin harus mengelus dada. Bersabar, dan mungkin bisa masuk syurga kelak dengan kesabaran itu (andai Tuhan benar-benar tertarik memasukkan rakyat penakut ke syurga hanya karena bungkus kesabaran).

Akhirnya, kita tunggu saja, apakah setelah dua kejadian pada dua tahun terakhir ini berpengaruh kepada DPR kita itu atau tidak? Atau jangan-jangan mereka penderita Amnesia atau Alzheimer. (FOLLOW: @zoelfick)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun