Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dosa Besar: Manusiawi

17 Maret 2010   16:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_96140" align="alignleft" width="213" caption="bukan dosa yang membuat anda kelak menjadi bagian penghuni neraka, tetapi justru karena terlalu sering menggunakan kata "manusiawi" (Gbr: Google)"][/caption] Hanya cerita kecil. Setelah hampir setahun rambut tidak dipangkas, sempat nyaris mirip tarzan. Tiba di Bandung dengan tampang sedikit kriminil. Tidak nyaman dengan sorot mata banyak orang, ambil keputusan untuk memangkasnya. Efek domino atau efek kejut, entah efek apa saja namanya, yang jelas orang-orang yang baru kukenal saat beberapa hari kemudian malah melihatku seperti tidak pernah dikenalnya. Mungkin karena memang tampang sebelumnya terlihat kriminil habis, sekarang malah militer habis. Manusiawi jika mereka seperti tidak mengenal saya lagi. Pelajaran kecil diberikan oleh rambut yang terpangkas. Betapa, saat sesuatu sudah keluar dari kelaziman, diluar yang sering dilihat, maka keterasingan terjadilah. Hal itu ternyata juga ditunjukkan banyak hal lain dalam keseharian. Coba saja pinjam mobil tetangga yang lux (jika bisa diberikan), petentengan keliling dengan mobil itu, cari kenalan dengan mobil berada di tangan (anggap saja mobil mainan anak-anak sampai bisa berada di tangan). Lalu beberapa hari kemudian, kunjungi ulang kenalan itu. Hitung saja berapa orang yang akan melemparkan senyum? Nah, tidak ada tendensi apa-apa. Hanya mencoba melihat dan melihat. Berbicara manusiawi, karena memang banyak hal yang manusiawi. Anda diacuhkan oleh orang-orang yang sebelumnya melempar senyum ramah, namun hari ini semua itu hilang, itu manusiawi. Selanjutnya, ada kasus seorang lelaki mendapati istrinya diselingkuhi lelaki lain. Perempuan ini untuk membenarkan diri sendiri, maka ia juga akan mengatakan pada dirinya (sendiri),"ini manusiawi." Terus, dalam catatan harian lain, seorang remaja memukuli teman sekolahnya sampai berdarah karena alasan diganggu dan sebagainya. Untuk itu, karena begitu mencintai anaknya, Bapak si Anak akan mengatakan,"ini manusiawi." Begitu pula dalam konteks yang lebih besar (sedikit), jika kemudian sosok kharismatik, sering dielu-elukan masyarakat, sering tampil di depan umum ketahuan menggelapkan uang masyarakat. Supaya kharisma institusi yang pernah ditempati si Kharismatik tersebut terjaga, tidak tercoreng, maka pendukung loyalnya akan [caption id="attachment_96145" align="alignright" width="300" caption="Efek rambut (Gbr: CM)"][/caption] bicara di koran-koran,"ini manusiawi." Sebuah kemalangan yang sebenarnya saat diri kita sendiri melakukan kesalahan berulang-ulang, namun yang kita bisikkan pada diri sendiri supaya lebih lega, tetap: "ini manusiawi." Ah, ternyata manusiawi itu menjadi sebuah senjata untuk membuat mata kian rabun melihat yang benar dengan yang salah. Yang seharusnya dengan yang tidak seharusnya. dari sini malah saya terpikir, sepertinya kelak penghuni neraka terlihat lebih banyak bukan lagi karena dosa besar, tetapi justru karena seringnya menggunakan kata "manusiawi". Lalu, masih tepatkah penyebutan "manusiawi" ditradisikan dalam keseharian? Wallaahu a'lam Musik Tidak Manusiawi:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun