[caption id="attachment_133283" align="alignleft" width="300" caption="Kemana engkau Laila?"][/caption] Tidak butuh alasan untuk sebuah sikap, ketika hasrat sudah membuat nurani tertutup rapat.
***
Takkan ada macan yang memakan anaknya. Begitu kata peribahasa. Tetapi realita bukanlah rangkaian huruf dalam peribahasa. Bukan kumpulan metafora penuh bunga. Bukan kanvas penuh warna. Hati Laila hanya punya satu warna, hitam saja. Membuatnya hanya mengabdi pada selangkangan belaka. Tak peduli walau untuk itu ia harus meraba-raba. Kaway XI, melewati sungai deras bersama rakit, 80 Km jauh dari desanya, Laila tetap mengejar asa. Pengejaran atas cinta yang ia sendiri tak bisa jelaskan dalam kata-kata. Sekarang ia terduduk menunggu senja atau entah apa, di sebuah mushalla [aceh: meunasah]. Tak terdengar olehnya 2 anak yang masih balita, tertinggal bersama suami yang ternyata tak pernah ia cinta, duh Laila. Ia memilih untuk menunggu saja di Mushalla. Dalam pikirannya, di sana pasti nanti akan ada yang jatuh iba padanya. Walaupun ia harus berdusta. Benar saja, seorang ibu-ibu menanyakan kenapa ia tidak shalat, saat warga desa yang hanya beberapa sudah berada di sana untuk shalat magrib. Laila beralasan tidak shalat karena kilah tidak membawa mukena,"juga saya sedang datang bulan, Nek.' Demikian kilahnya. Nenek inipun masuk ke dalam setelah minta permisi. Sampai magrib selesai, Laila masih terduduk di halaman mushalla dengan mata berkaca-kaca, entah ia menyesali karena ia sudah tinggalkan anak yang masih balita atau karena ia tidak dengan mudah bisa temukan lelaki yang ia cinta. Jelas saja, dari para pekerja jalan depan rumahnya ia hanya mendapat berita, Mak Saleh yang menjadi selingkuhannya semasih kerja di perkebunan sawit sedang berada di Kaway XI di sebuah PT, sebuah perseroan terbatas di bidang perkayuan yang orang bilang dimiliki Presiden. Di sana, disebut Saleh sudah bekerja menjadi mandor, meski sudah jelang 30 tidak mau menikah karena alasan menunggu Laila jadi janda. Entah seperti apa pikiran Laila, ia tidak telusuri ujaran pekerja aspal nyata atau hanya canda. Jelasnya 2 buah hati sudah ia tinggalkan begitu saja. Nenek yang tadi sempat menyapanya, melihat perempuan muda ini dengan mata iba. "Dari pat neuek? hoe keuneuek jak? [Darimana Nak, mau kemana?]" "Saya mau cari kerja, Nek. Saya dari Gampoeng Kuala di Nagan. Terpaksa tinggalkan desa karena suami sudah lama tiada." Kata-katanya betul-betul mirip dengan pemain drama. Karena perempuan tua yang menanyakannya itu memang berpikir lurus saja, ia langsung saja percaya. "Di sini saya memang tidak punya siapa-siapa. Tapi mungkin di PT itu saya bisa kerja, walaupun mungkin cuma sebagai tukang masak." Ujar Laila dengan membuat irama terbata-bata. Polahnya demikian sungguh ia sebenarnya layak jadi bintang film atau pemain drama, tetapi tidak tercapai mungkin karena ia hanya perempuan desa, atau ia saja yang tidak punya cita-cita. Bisa ditebak, sedikit mirip cerita telenovela Maria Mercedes, yang pernah akrab disajikan di televisi tahun 90an. Nenek itu menawarkan Laila untuk tinggal saja bersamanya. Karena ia juga hanya tinggal dengan 3 cucunya yang baru beranjak remaja. Rumah dengan 3 kamar di desa tergolong mewah. Di salah satu kamar itu Laila menemukan tempat untuk proses perburuannya lengkap dengan sandiwara yang murni ia rekayasa.
***
Di rumahnya. Hasan sedikit bingung. Beberapa hari ia tidak berangkat kerja. Karena ia harus jalankan [caption id="attachment_133287" align="alignright" width="300" caption="Seperti apakah masa depan bayi kecil yang ditinggal ibunya saat belum genap 6 bulan, Tuhan?"][/caption] peran baru. Menjadi seorang ayah sekaligus menjadi seorang ibu. Mungkin karena tempaan nasib dari kecil. Merawat 2 buah hatinya tidak terlalu membuatnya terasa tersiksa. Cuma, terasa bingung karena Ramat, panggilan untuk si kecil yang sebenarnya memiliki nama asli Rahmat dan Jannah sudah tidak memiliki ibu untuk mereka bisa bermanja. Sulit dipastikan, apakah lelaki ini, kendati mengalami tindak yang tidak menghargai dari seorang istri, tetapi saja ia belum terpikir untuk berpindah hati untuk menambah jumlah istri. Walaupun jika ia mau, bisa saja ia mencari cara cepat untuk mempermulus niat itu, misalkan ada. Pun Cut Amat kawan dekatnya sempat datang kemarin bicara panjang lebar bagaimana harusnya lelaki melihat keberadaan seorang istri,"memang menikah dengan satu istri itu bagus. Tidak bikin kita mehmoh (repot). Cuman, kalau sudah kejadian seperti ini, lon keudroe (saya sendiri) tidak akan menunggu waktu lama lagi. Pue taharap aneuek gop. Jih keudroe meu droe hana di peuyuem, pue treuek yue peu yuem gata seubagoe lakoe [apalagi yang diharap dari anak orang itu. Dia sendiri bukan perempuan yang tahu menghargai diri. Diri sendiri saja tidak dihargainya, apalagi berharap ia bisa menghargaimu sebagai suami...)." Niat Cut Amat diyakini sekali oleh Hasan bukan bermaksud untuk menghasut, tetapi ia memang tidak pernah rela kawan mudanya ini menjadi korban istri ditengah begitu banyak lelaki justru menjadikan istri sebagai korban. Namun, Hasan masih lelaki yang tidak gampang berpaling hati. Setiap melihat bola mata 2 permata yang masih balita ini. Selalu saja Hasan terbawa angan, teringat Laila. Entah dimana sudah ia berada? Tak ada tempat untuk ia bertanya. Dalam beberapa hari, Hasan hanya bersama anaknya, tidak pergi bekerja. Agar anaknya tidak sampai tersia-sia. Walaupun untuk makan, ia harus dengan bue jampu sira meukuwah ie mata [nasi campur garam berkuah air mata]. Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikianlah potret selanjutnya yang terjadi. Rumah yang sebenarnya bukan miliknya itu harus dikembalikan ke Cek Dolah. Memang rumah keureupoh (gubuk) itu sebenarnya gudang cadangan untuk penyimpanan beras Cek Dolah. Beras dari kilang padi milik adik ibunya Hasan ini. Kilang padi itu sudah tutup sejak 7 tahun lalu karena kalah saing dengan kilang padi dengan milik Geuchik Sani yang dicintai warganya. Terpaksa dikembalikan, oleh sebab Cek Dolah memiliki hutang yang begitu banyak, maka tanah bertempatnya keuereupoeh itu harus dijual untuk bisa membayar hutang Cek Dolah yang sudah sangat mendesak. Walaupun lelaki 9 anak itu tidak tega terhadap keponakannya ini. Tapi, apa boleh buat.
***
Geuchik Sani yang dikenal cepat tanggap terhadap ureueng gampoengnya. Mengetahui perihal masalah Hasan, segera ia menuju ke keureupoeh itu. Persis ketika Cek Dolah datang lagi keesokan harinya menemui Hasan di sana. Saat topik obrolannya dengan Hasan sudah membahas tentang masalah Laila, Geuchik Sani datang lengkap dengan 2Â sisir pisang brat (pisang berbentuk agak lebih panjang tapi juga lumayan manis) untuk diberikan ke Ramat dan Jannah. 2 bocah ini pun terlihat begitu manja dengan ayahnya, Jannah di pangkuan Hasan.
"Begini, San. Begini, Cek Dolah. Saya tahu, Hasan sedang musibah, Cek Dolah juga musibah. Saya juga tahu, kalau Cek Dolah sendiri juga bingung untuk mencari jalan keluar untuk Hasan di tengah persoalan droe (sendiri) yang juga begitu besar. Untuk itu Hasan, Cek Dolah, biar Hasan pergunakan saja gudang dekat meunasah untuk ia tempati. Cuma, yang membuat saya terpikir bukan apa-apa. Soal Ramat ngoen Jannah yang mantoeng cut nyoe (masih kecil ini) Pakiban?" Ujar Geuchik Sani sambil dengan santun mengipas kepulan asap rukoek oen Cek Dolah yang tertiup angin ke arahnya. Rokok dari daun nipah itu memang memiliki bau yang sangat menyengat. Apalagi tercium oleh lelaki yang tidak pernah merokok seperti Geuchik Sani.
Seketika, wajah Cek Dolah berubah lebih cerah ketimbang tadi karena harus ikut memikirkan jalan keluar untuk keponakannya, Hasan yang tidak punya lagi tempat tinggal karena tanah ini harus dijual.
"Alhamdulillah, Pak Geuchik. Trimoeng gaseh that (terima kasih sekali). Kalau soal aneuek miet nyoe (anak-anak ini), biar saya yang atur." Pembagian peran yang cukup cerdas antara 2 orang tua yang bersaing dalam bisnis tetapi begitu akur dalam memikirkan lelaki muda yang belum begitu matang dalam menjalani hidup itu.
***