[caption id="attachment_87468" align="alignleft" width="256" caption="Cover buku antologi puisi: Tsunami Kopi (Gbr: Istimewa)"][/caption] Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa Facebook tidak lebih sebagai mainan orang-orang yang suka menghabiskan waktu tidak jelas. Terbukti, anggapan itu hanya pandangan segelintir orang yang apriori terhadap perkembangan teknologi. Sastrawan Aceh, lagi, unjuk gigi yang diawali dari situs jejaring itu. Antologi Puisi Tsunami Kopi menjadi bukti penguat. Di samping begitu banyaknya karya lain yang lahir dari memanfaatkan secara positif media tersebut. Tsunami Kopi. Sebuah pilihan nama yang saya sendiri juga sudah tidak terlalu ingat siapa yang menggagas nama itu. Namun begitu, ada yang lebih terekam di ingatan ketika seorang seorang rekan. Dokter yang juga penyair yang puisinya sudah meraja di berbagai media sampai ke Kompas, dr Razak MH Pulo. Darinya, penyair-penyair Aceh lainnya dirangsang untuk unjuk gigi. Antologi puisi dimaksud memang seingat saya digagas oleh rekan-rekan yang berada di Aceh. Mereka yang langsung berkarya di tengah debu Aceh. Syukur, saya salah satu yang juga diajak. Kendati, sejauh ini karya saya di media masih lebih sedikit dibanding mereka. Ini menjadi sebuah bukti kekuatan jejaring sosial bernama Facebook. Sekian banyak orang yang memiliki kesamaan talenta bisa menyatukan dayanya. Melahirkan karya meski tidak harus banyak bicara. Dalam antologi ini, terdapat sekitar belasan penyair Aceh yang menuangkan kebeningan jiwanya ke sana. Tidak ada ratapan, walaupun tsunami yang terjadi pada 2004 menurut sebagian orang memang layak diratapi. Tidak ada irama tangisan, walaupun mungkin konflik yang lama terjadi di Aceh memang layak menjadi alasan untuk bahanakan tangis hingga bergaung dalam puisi. Tidak, antologi puisi itu lebih berisi catatan bara-bara yang terserah dalam dada penyair muda Aceh.
Tak heran, Hardho Sayoko, salah satu penyair asal Ngawi memiliki catatan tersendiri terhadap antologi ini.
"Membaca sajak-sajak karya penyair muda berbakat asal Aceh di antologi "Tsunami Kopi," Sungguh membuat saya yang suka sajak ini bukan hanya terhenyak tapi juga terpana. Ternyata para penyair yang berasal dari tanah yang berjuluk Serambi Mekah ini, mampu berpuisi dengan ucap sajak yang baik. Padahal jika dirunut ke belakang, daerah tempat mereka bermain di masa kanak-kanaknya ini, pernah dianggap bergolak dan disapu dahsyatnya tsunami, tetapi puisi-puisi di buku antologi ini tidak membiaskan dendam apalagi yang berbau agitasi."
***
Tsunami Kopi dan Kebersatuan Tercatat beberapa nama di sana, selain Razak MH Pulo. Juga ada Bahagia Arbi, Herman RN, Muhadjier Salda (Maop) dan saya sendiri-- juga merupakan kompasianers--dan beberapa nama lainnya. Tak ketinggalan, di sana juga ada keikutsertaan kaum hawa. Isyarat bahwa dalam ranah sastra pun, ureung Aceh bisa tunjukkan apresiasinya pada kalangan perempuan. Tak pelak muncul beberapa nama seperti Razlina Reinchard, Nuril Annisa dan beberapa nama lainnya. Pun, yang menulis di antologi itu juga tidak hanya mereka di Aceh. Namun, juga ada beberapa dari penyair di antologi tersebut yang berada di luar daerah, bahkan ada yang di Australia. Jarak tidak menjadi sebuah tembok ketika niat sudah ditekadkan. Antologi puisi bertitel Tsunami Kopi ini dijadwalkan launching pada Sabtu, 29 Januari 2011 di Banda Aceh. Bandung, 26 Jan 11
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H