Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dangerous Minds: Inspirasi tentang Perempuan Pendidik

3 April 2012   07:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1333438804426018367

[caption id="attachment_179897" align="aligncenter" width="595" caption="Gbr: Rollingstone.com"][/caption]

Ketika seorang guru perempuan harus mengajar di kelas sebuah sekolah yang berisi anak-anak berandal, akrab dengan dunia obat-obatan terlarang, dan ketimpangan sosial, tak pelak ia harus berhadapan dengan masalah-masalah yang jelas tidak sederhana. Film bertitel Dangerous Minds yang dibintangi Michelle Pfeiffer bercerita tentang kondisi demikian dengan setting sebuah kawasan pinggiran di California. Lantas seperti apa film tersebut dan bagaimana seorang guru yang lagi-lagi adalah seorang perempuan bisa menangani tugas beratnya mengajar anak-anak tersebut? Berikut catatan saya:

Berawal dari lamaran untuk mengajar di sebuah sekolah yang dipenuhi anak-anak bermasalah, Louanne Johnson diterima menjadi salah seorang pengajar di sekolah tersebut. Sejak pertama ia menjejak langkah di sana, ia sudah diperkenalkan oleh seorang rekannya tentang kondisi riil kelas yang harus ditanganinya. Bahwa di sana berisikan anak-anak berandalan, suka mencuri, kerap dekat dengan dunia obat-obatan, juga sudah sangat sering membuat guru-guru mereka keluar karena ketidaksanggupan mencari cara untuk menarik perhatian anak-anak tersebut.

Benar saja, saat pertama berada dalam kelas ia sudah melihat anak-anak yang bahkan tidak memedulikan kehadirannya di sana. Sebagian asyik bermain gitar di dalam kelas, sebagian lainnya yang perempuan bermain-main sambil berlagak sebagai model dengan kawan mereka yang memotret. Sedang selebihnya membuat keriuhan dengan cara masing-masing.

Beberapa hari pertama, Louanne merasakan nervous dan nyaris depresi mencari cara untuk bisa menghadapi murid-muridnya tersebut. Beberapa buku dibacanya untuk bisa mendapatkan jalan penyelesaian agar membuat mereka bisa memberi perhatian padanya. Sayangnya upaya yang ia lakukan tidak kunjung memberi buah sampai salah satu dari siswa di kelas tersebut bernama Kelly memberi petunjuk untuk ia taklukkan dulu salah satu murid yang paling disegani rekan-rekan sekelasnya, Emilio Ramirez yang diperankan oleh Wade Dominguez.

Tak ayal, Louanne melakukan berbagai macam pendekatan dengan sosok siswa paling ditakuti teman sekelasnya itu. Meski awalnya ia mendapati respon acuh tak acuh, namun kemudian ia berhasil juga menaklukkan Emilio. Dari pendekatan tersebut Louanne tahu jika Emilio merupakan seorang anak dari keluarga broken home yang apatis dengan semua yang berada di luar dirinya.

Berangkat dari keberhasilan menaklukkan Emilio secara persuasif, selanjutnya tugas Louanne tidak begitu saja berhasil memang. Ia terpacu untuk bisa membuat anak-anak kelas tersebut untuk bisa memberi perhatian pada pelajaran yang ia berikan. Dari mencoba memberikan pelajaran dan contoh-contoh yang dekat dengan lingkungan anak-anak tersebut, sampai dengan menjanjikan berbagai macam hadiah agar bisa mengsugesti mereka.

Menarik, pola pendekatan yang dibangun Louanne berhasil membuat anak-anak berandal tersebut terpacu untuk belajar. Bahkan, petugas perpustakaan dibuat kaget karena pustaka yang awalnya sepi-sepi saja tiba-tiba dipenuhi oleh anak-anak yang sedang mencari buku yang berhubungan dengan tugas yang diberikan gurunya itu.

Pelajaran Penting.

Ada hal yang menurut saya teramat layak untuk disimak dari film tersebut adalah sikap jeli, bijaksana, dan sabar yang dilakonkan Pfeiffer dengan cukup apik dalam perannya sebagai guru Louanne.

Seperti misal saat ia memberi tugas yang berhubungan dengan puisi, ia mengorbankan uang pribadinya guna bisa memberikan hadiah untuk anak-anak tersebut. Dengan hadiah yang tidak tanggung-tanggung, berupa kesempatan piknik di tempat termahal yang belum pernah seorang pun dari para siswanya itu mengunjunginya sebelumnya. Sedang untuk 3 juara pertama, ia menjamu mereka di sebuah restoran paling luks di kota  Paolo Alto tempat sekolah tersebut berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun