Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cinta dari Lorong Kematian

30 Oktober 2009   19:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:29 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Melihat pakaiannya, kurasa dia seorang Eropa. Wajahnya seperti telah lama sekali tidak tersenyum, mungkin dia begitu larut dengan pikiran-pikirannya. "Aku melihatmu begitu tersugesti untuk menjadi filsuf." Terkanya, lantas terdiam. Ia lebih mengarahkan mata pada gerak awan di langit yang berada persis di serambi rumahnya. Aku sendiri hanya berikan senyum kecil saja. Seraya bergumam dalam hati,"bagiku tidak penting untuk disebut filsuf atau apapun." Seolah ia mendengar yang sedang kutegaskan pada diri sendiri, ia lanjutkan kalimat-kalimatnya,"kau seperti gadis kecil pemalu. Atau aku juga bisa menyebutmu sebagai laki-laki sekaligus, yang malu untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya kau inginkan. Tapi malah kau sendiri tidak tahu apa yang kau pikirkan dan kau inginkan." Seperti tidak mendengarkan suaranya, aku justru memotong pembicaraannya,"aku sepertinya pernah melihat gambarmu, tapi aku tidak kau siapa?" Seketika aku berkesempatan untuk melihat tawanya,"Aku Nietzsche." Lalu kembali ia terdiam. Dalam hati aku merasa ingin sekali mendebat semua yang pernah kubaca tentangnya dan tentang semua yang pernah dipikirkan olehnya. Tetapi, ia sudah lebih dulu gerakkan mulutnya,"kecerdasan tidak diukur dari kemampuan berdebat, saudaraku. Tetapi kecerdasan adalah kekuatanmu dalam menerima kebenaran sebagai kebenaran. Sebuah keadaan ketika kau berhasil tanggalkan sisi keakuanmu. Dan, kau mengizinkan kebenaran menjadi dirimu sendiri. Tanpa itu, kebenaran hanya akan menjadi pakaian yang terbuat dari karung-karung lusuh. Ketika kau merasa tidak nyaman kau akan lepaskan. Sedangkan saat kau jadikan kebenaran sebagai dirimu sendiri, kau hanya terima itu dan tidak akan bernafsu lagi kau perdebatkan kebenaran yang memang sudah benar." Aku jadi tercenung. Karena kuperhatikan sepertinya ada kontradiksi dengan beberapa bukunya yang pernah kulahap."Buku-buku itu bukan ilmu. Ilmu yang sebenarnya adalah alam, ilmu itu adalah dirimu dan ilmu itu adalah manusia. Aku sekarang malah mempercayai bahwa ilmu adalah kekayaan yang paling dibanggakan Tuhan." Ia memotong ketercenunganku. "Aku ingin bercerita sesuatu padamu." Lantas ia terdiam. Lama."Kenapa kau terdiam seperti itu, bukankah kau ingin bercerita?" Jenuh dan ketidaknyamanan mulai menghinggapiku. Ia terus saja diam, seakan tidak mengerti dengan yang baru saja ia ucapkan. Jadi terpikir untuk pulang saja karena mengira ia betul seperti disebut selama ini sebagai orang yang gila. Berpegang pada etika dan keinginan untuk tetap menghormatinya, aku memilih untuk merenung. Apakah manusia seperti ini kenal dengan cinta? Pahamkah ia dengan perasaan manusia? Tapi ia juga manusia. Walau selama ini memang, saat membaca beberapa pikirannya ada rasa ingin untuk memakinya. Karena dugaanku ia hanya mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak memahaminya. Ia beronani dengan pikirannya sendiri dan tidak bisa menjadi energi untuk menghidupkan. Lantas, kucoba nasehati diri sendiri,"bukanlah sebuah pilihan cerdas mengizinkan kebencian pada seorang manusia yang memiliki pemikirannya sendiri. Membenci seseorang karena perbedaan hanyalah bentuk dari kepicikan. Kepicikan itu sendiri adalah kamar-kamar sempit yang tidak akan bisa dipergunakan untuk memuat pengetahuan." "Saudaraku,"Nyaris tersentak ketika tiba-tiba ia menegurku saatku sedang bergelut dengan pikiran sendiri." Diam itu adalah sebuah cerita. Ia bisa menjadi dongeng seperti yang kita perdengarkan pada anak-anak. Diamku malah membuatmu terangsang bukan? Terangsang untuk menyelami jiwamu dan kau lebih punya waktu untuk berdialog dengan kedalaman pikiran serta jiwamu. Bila kau hanya mendengarku, kecil kemungkinan pada saat yang sama engkau bisa mendengar diri sendiri. Sedangkan ketiadaan kesempatan untukmu menyelami diri hanya akan membuatmu seperti arca emas, tapi tidak memberi makna apa-apa. Kesempatanmu menyelam kedalam diri, kau tidak akan temukan emas sekecil apapun. Justru, kau malah akan temukan mutiara. Bila kau meminum segelas bir pemberianku dan kau mabuk. Itu bukan karena kesalahanku memberimu minuman yang tidak biasa kau telan. Tetapi kesalahan itu adalah kesalahanmu sendiri yang memutuskan untuk meminumnya. Dalamilah pikiranmu, jangan kau kagumi pikiranku atau siapapun. Juga, engkau tidak bisa membenci pikiranku, bilapun itu tidak berkenan bagimu. Sebab, yakinlah tidak akan ada kebijaksanaan dalam kebencian. Nah, biarkan semua diam bila diam itu mencerdaskanmu dan juga jangan kau larang diri sendiri untuk juga diam. Karena dalam diam itu juga, kupercaya kita berkesempatan untuk berkomunikasi dengan Tuhan." "Sepertinya apa yang kau pikirkan adalah pikiranku sendiri," Aku menyela."karena yang kuyakini selama ini juga adalah bicara dan suara sering membuat banyak manusia terjebak keangkuhan. Padahal keangkuhan itu, yang aku tahu adalah pembunuh. Keangkuhan itu kupikir adalah pembunuh. Ia membunuh hanya dengan mempergunakan sebuah tang yang biasa dipergunakan tukang bangunan. Ia akan memotong kabel-kabel di kepala. ia menjadi sampah yang akan menutup selokan-selokan yang mengantarkan pikiran pada samudera kebenaran" Ia kulihat sedang menatapku serius."Sebenarnya aku berkeinginan mengkhotbahimu tentang semua yang pernah kau pikirkan." Ujarku dengan sedikit irama marah. Aku coba diam dan mengusir marah itu agar tidak membunuh pikiranku."pandanganmu tentang kematian Tuhan tidak akan bisa dicerna mereka. Walau bukan maksudmu seperti itu, tahukah kau, aku memiliki tetangga-tetangga yang leluasa menindas karena merasa Tuhan memang tidak ada. Aku memiliki kota yang penuh dengan kedengkian. Ditutupi awan kemunafikan hingga meredupkan cahaya kebenaran untuk bisa memancar disana" Ia memasang wajah lebih serius setelah mendengar kalimatku,"Bukan salahku, karena aku memberikan semua tulisan dan pikiranku hanya untuk mereka yang bisa berpikir. Kepada orang-orang yang merasa yakin bisa berpikir dan menyenangi berpikir. Berpikir tentang kebenaran dan kebaikan dari setiap sesuatu. Orang-orang yang kau sebutkan itu kukira adalah ciptaan Tuhan yang dibuat dari bangkai-bangkai dari neraka. Mereka memang akan terus membuat hidungmu serta pernapasanmu terganggu. Kau akan sesak. Tapi, sebaiknya menjauh saja kau dari mereka. Aku khawatir engkau akan terganggu untuk berpikir, barangkali konsentrasimu akan terhalang oleh bau tubuh mereka." Akupun mencoba memasang wajah sebijaksana mungkin. Lantas kucoba perdengarkan padanya suaraku lagi"Aku memilih untuk tetap hidup ditengah mereka. Setidaknya aku bisa melatih kesabaranku dan aku bisa lebih matang untuk hidup tenang tanpa kebencian, ketika aku sudah bisa bersihkan daki-daki kebencian itu dari diriku. Aku meyakini kebenaran tidak akan hancur oleh bau tubuh mereka." "Baiklah, aku pamit untuk pulang. Aku ingin bersemadi untuk beberapa puluh tahun. Mencoba untuk menggali semua yang ada dipikiranku lebih dalam lagi. Bila nanti aku mati dalam semadi itu, aku meminta kau sendiri untuk izinkan rohmu merasuk ke banyak jiwa, untuk bicara kebenaran yang sesungguhnya. Aku percaya kematian yang telah pernah kau alami telah membuatmu lebih bijaksana, dan kematian itu pasti sudah menjelaskan lebih terang tentang kebenaran." Ia hanya mengangguk kecil lantas tertidur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun