Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Selangkangan dari Desa

21 Mei 2010   09:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:04 6061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapa yang bisa baringkan perempuan-perempuan bertubuh dan berjiwa bersih? Tidak akan pernah bisa. Sesuatu yang kotor takkan pernah bisa menyatu dengan yang bersih. Perdebatkanlah kebenaran itu juga memang layak. Tetapi, perjalanan waktu tetap akan lebih banyak buktikan hal yang demikian. Lihatlah.

***

Perempuan yang hanya mengenakan sarung saja untuk menutupi tubuhnya itu masih terbaring lemah. Wajah pucat, bibir memutih secara tiba-tiba dan bicara hanya bisa dengan terbata-bata. Untuk lebih memperkuat keyakinannya, Mantri Madi meminta yang lain untuk keluar kamar sebentar dan meninggalkan Laila dengan dirinya, bertiga dengan Hasan. Di sini, Laila dengan suara yang tidak terlalu jelas berbicara tentang pilihannya untuk gugurkan kandungannya yang tidak bisa ia tebak sudah berusia berapa persisnya. Tetapi alasan yang dikemukakan hanya, ia tidak ingin memiliki anak lebih dari 2. Pertimbangan yang sempat ia terangkan, agar tidak terlalu membebani Hasan yang memang memiliki sumber pendapatan yang masih sangat terbatas. Sedang dalam batinnya, ia bertekad untuk tidak izinkan dirinya untuk melahirkan benih dari lelaki lain. Walaupun ia belum bisa berjanji untuk meninggalkan perselingkuhannya dengan lelaki yang ia sukai. Mantri Madi semakin mengetahui persoalan, dan masalah yang sedang dihadapi ini harus diselesaikan dengan cara kuret. Tetapi, Mantri muda ini bisa mencium gelagat tidak baik dan logika yang tidak bisa dibenarkan dari semua yang dituturkan Laila. Dari yang ia amati, janin dalam perut Laila sudah terbentuk danitu belum keluar kecuali dengan cara dihancurkan. “Maaf, saya tidak bisa bantu, kalau masalah ini ingin selesai, silahkan bawa ke rumah sakit di Meulaboh!” Tegas dan sedikit ketus kalimat yang keluar dari lelaki ini. Ia keluar dengan raut wajah yang tidak enak dilihat. Hasan sendiri tidak mengerti kenapa bisa seperti demikian. Yang ia tahu hanya istrinya sedang tidak berdaya dan istrinya ini sedang butuh pertolongan. Setitik air mata jatuh di pipi Hasan. Ia merasa sedih. Yang terpikir olehnya hanya, apakah mantri itu pergi keluar dan pulang hanya karena alasan ia miskin dan tidak layak dibantu. Apakah ia tidak layak ditolong karena istrinya yang sedang kritis begini atau karena dipandang tidak sanggup untuk membayar? Sederet pertanyaan muncul di pikiran Hasan, ia tidak mengerti. Ia sama sekali tidak tahu, Mantri tersebut tidak menjelaskan apa yang diketahuinya karena alasan tidak ingin membuat rumah tangga pasangan tersebut diguncang kericuhan karena sesuatu yang ia ketahui itu. Sekarang, alternatif yang ada adalah membawa istrinya ke Meulaboh. Saat itu rumah sakit satu-satunya yang ada cuma di Meulaboh, sedang Puskesmas di Kecamatan tempat Mantri Madi bergiat sudah pasti tidak memungkinkan untuk tangani permasalahan seperti yang dihadapi oleh Laila. Bingung. Resah. Gelisah. Hasan tidak tahu harus berkata apa. Bingung untuk mengambil jalan keluar bagaimana. Membawa istrinya ke Meulaboh jelas tidak mungkin, mau ambil uang dari mana untuk proses pengobatannya? Ada perasaan, ingin sekali ia bisa benturkan kepalanya ke dinding. Masuknya kembali Geuchik Sani dan beberapa warga lain ke dalam kamar itu membuka jalan keluar baru. ”Kita coba panggil Let Kaha di Gampong Aceh. Biasanya beliau bisa hadapi masalah bluding lagee nyoe (pendarahan seperti ini, bleeding).” Yap, Let Kaha. Dukun yang dikenal sebagai seorang dukun yang dulu sering membantu gadis-gadis desa menggugurkan kandungan dengan harga mahal. Pelanggannya juga berdatangan sampai dari luar kabupaten, karena memang namanya sudah sangat dikenal dengan kemampuannya seperti itu. Sejak dukun itu memilih untuk bertaubat dan meninggalkan kebiasaan membantu proses menggugurkan kandungan dengan obat-obatan tradisional. Ia sering dipercaya untuk membantu masyarakat yang mengalami masalah pendarahan dengan obat-obatan tradisional. Let Kaha yang juga dikenal dengan panggilan Tabib Kaha ini memang seorang lelaki yang cepat tanggap. Sekalipun ia punya jejak masa lalu yang cukup buruk sebagai tukang bantu pengguguran bayi, namun sejak ia mengambil jalan bertaubat, ia cepat sekali menyambut permintaan masyarakat yang membutuhkan pertolongannya. Tidak peduli ia sedang sibuk dengan pekerjaan utamanya di sawah, tidak menjadi kendala untuknya bertindak cepat memenuhi permintaan tersebut. Demikian pula ketika pagi itu, saat Ramat sudah berangkat ke sekolah, dan Keujruen mengambil inisiatif meminjam sepeda Geuchik Sani untuk kemudian mengayuh ke Cot Kuta guna menjemput dukun dimaksud. Sesampai di rumah Tabib Kaha, yang dijumpai hanya Po Sanah, istri dari dukun tersebut. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, Keujruen yang dulu pernah menjadi algojo terhadap Ismail, selingkuhan Laila. Sekarang ia juga yang mengajukan diri menjemput dukun untuk menolong Laila. Walaupun Keujruen harus menempuh perjalanan sejauh 5 Km. Tidak sia-sia, walaupun Tabib Kaha sedang di sawah yang berada di ujung desa. Po Sanah dengan wajah tulus minta pamit untuk menjemput suaminya, setelah menghidangkan secangkir kopi untuk tamunya itu dan mempersilahkan untuk meminumnya sambil menunggu ia kembali dari menjemput Tabib Kaha. Di Aceh, menjadi sebuah kebiasaan masyarakat desa, cara untuk memuliakan tamu, kopi menjadi suguhan utama. Kopi tersebut biasanya memang diolah sendiri, dari proses menjemur sampai menumbuknya. Kopi ini menjadi minuman penghormatan. Sedang suguhan lainnya terkadang, batee ranup (tempat sirih) yang berisi ranup, gambee, gapue[1]. Sekitar 30 menit Keujruen menunggu. Tanpa basa-basi Tabib Kaha sudah tiba di rumahnya dan langsung menuju ke sumur yang berada di depan rumahnya. Di pedesaan Aceh, tidak menjadi sesuatu yang mengherankan jika letak sumur terkadang berada di depan rumah, bersisian dengan pintu depan atau bahkan di belakang rumah, tetapi jauh di belakang. Apalagi untuk desa-desa seperti yang ditempati oleh Tabib Kaha yang memang jauh dari kecamatan, soal yang berhubungan dengan buang air besar juga dipandang simpel saja. Dalam arti, biasanya untuk buang air besar cukup pergi ke kebun pisang yang biasanya ada di belakang hampir semua rumah penduduk, membawa satu cangkul dan menggali lobang dengan kedalaman setelapak tangan, dan duduk sambil menikmati kehijauan daun pisang. Nanti ditimbun kembali setelah selesai. Selesai Tabib Kaha mandi. Tidak ada lagi tanya jawab terlalu panjang. Tabib ini sudah tahu permasalahan Keujruen dari istrinya sendiri. Tak lama, Keujruen pamit ke Po Sanah, dan ia pergi dengan Tabib Kaha. Tetapi Tabib tidak menumpang di sepeda yang dibawaKeujruen, sebab lelaki itu memiliki sepeda sendiri yang sangat dibanggakannya. Gari agam (sepeda onthel) yang juga menjadi andalannya untuk bepergian puluhan kilometer setiap kali ada yang membutuhkan pertolongannya. Sekitar 40 menit, mereka sudah tiba di rumah Hasan. Tetapi tidak langsung masuk ke dalam. Mereka menjalankan pantangan, bahwa untuk sesuatu penyakit yang belum jelas dikenali seorang tamu tidak boleh langsung masuk. Mereka harus duduk atau berdiri dulu beberapa saat di depan rumah baru kemudian melangkah masuk. Masuk ke dalam, Tabib sudah disambut Hasan dan Inoeng Geuchik, istri Geuchik Sani. Mereka berikan peungareh. Untuk proses pengobatan dengan menggunakan tenaga tabib, peungareh menjadi sesuatu yang sangat diwajibkan, jika tidak, tabib yang diminta pertolongannya bisa tanpa basa basi pulang meninggalkan rumah calon pasiennya. Tidak peduli dalam kondisi seperti apapun pasien tersebut. Untuk peungareh bisa berupa pisau dengan gagang berbentuk udang, jarum, atau bisa juga emas. Dan untuk permasalahan seperti yang dihadapi oleh istri Hasan, emas menjadi sebuah keharusan. Hanya saja, disebabkan mereka belum berkemampuan untuk memberikan emas sekarang, jadi pisau berbentuk udang itu menjadi peungareh pembuka. Hanya dengan dua tiga pertanyaan terkait dengan masalah Laila, Tabib ini segera meminta Hasan untuk mencari keperluan proses pengobatannya dengan menyebut beberapa jenis dedaunan. Dan segera saja Hasan mencari semua yang diminta oleh Tabib tersebut. Pun, tidak sulit mencari semua itu karena di desanya itu memang banyak sekali tanaman yang terkadang tumbuh secara liar di pinggir-pinggir kebun warga atau juga di dekat-dekat pematang sawah. Setelah semua dikumpulkan, Tabib Kaha mengeluarkan botol minyak dari umpang (tas terbuat dari daun pandan). Botol berwarna putih berisi minyak berwarna kekuningan dengan beberapa akar di dalamnya. Disebut-sebut, itu merupakan akar 7 jenis rumput. Setelah mencuci tangan, Tabib Kaha meremas semua dedaunan yang diminta dari Hasan untuk kemudian, diminta untuk direbus dan diminumkan ke Laila.

***

Bocah kecil itu terduduk di atas kursi belajarnya dengan wajah yang tidak bisa ditegakkan. Ia malu dengan sendirinya oleh sikap gurunya sendiri. Pak Usman, nama lelaki yang mengajarkan pelajaran agama di kelasnya. Lelaki itu tidak hanya mengajarkan bagaimana tata cara melakukan cara shalat yang baik. Tidak hanya beritahukan seperti apa akhlak yang baik. Tidak juga sekedar perjelas pada anak-anak yang sudah dipandangnya sebagai manusia kecil yang tidak tahu apa-apa. Tetapi di sana, guru ini mengeluarkan kalimat-kalimat yang sangat menusuk bocah kecil ini. Iya, bocah kecil ini adalah Ramat bin Hasan, beribu Laila. Pak Usman, saat anak-anak tidak ada yang memberikan pertanyaan terkait dengan pelajaran yang baru saja ia berikan malah menjadikan kesempatan itu untuk mengata-ngatai bocah kecil ini. Kebetulan Guru Usman, panggilan lelaki beranak 5 itu mengenal baik keluarga bocah itu. "Kalian, jangan sampai kelak menjadi seorang lelaki seperti Bapaknya si Ramat. Lihat saja, untuk membeli baju sekolah saja tidak bisa. Seorang lelaki yang cuma bisa beranak tidak akan memiliki harga. Lihatlah kawan kalian, Ramat. Bajunya punoeh boh beurujuek (bintik-bintik hitam seperti tahi lalat). Itu tidak bisa diganti oleh orangtuanya karena mereka miskin. Yang ia tahu cuma memasukkan kelaminnya ke dalam kelamin istri." Kalimat yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang guru yang mengajarkan pelajaran agama. Ini yang teramat dirasakan oleh bocah kecil itu. Pelan dalam ketepekurannya, bocah ini merasakan matanya berair. Ia merasa begitu direndahkan. "Kalau miskin seperti Bapaknya Ramat dan Akim. Lihat saja, mereka paling cuma bisa berikan pendidikan untuk anaknya cuma sampai tamat SD saja, itupun sudah beruntung kalau tamat. Tapi yang lebih banyak, anak-anak orang miskin jadi maling. Seringkali ditangkap polisi gara-gara mencuri karet di kebun karet orang.” “Kadang mereka mencuri kambing atau kerbau orang. Kawan kalian ini, Ramat dan Akim bukan tidak mungkin kelak juga seperti itu. Untuk sekolah tinggi, tidak mungkin sekali karena jelaslah orangtua mereka untuk sekedar kebutuhan makan sekalipun kepayahan. Yang mereka tahu tidak lebih dari beranak dan beranak." Papar lelaki yang menjadi guru pelajaran Agama itu yang saat itu seharusnya membahas tentang Bab Thaharah. Ramat tidak mengerti, setiap gurunya yang satu ini masuk ke dalam kelasnya, hampir selalu ia menjadi sasaran. Kalau bukan dia, pasti temannya yang satu lagi, Akim. Akim itu juga anak dari salah satu penduduk desa yang sangat miskin. Teman Ramat itu memiliki orangtua yang bekerja sebagai tukang sampah di kecamatan. dan ibunya bekerja sebagai buruh cuci, juga di kecamatan. 2 bocah ini acap menerima penghinaan oleh gurunya sendiri. "Kenapa orangtua Ramat dan Akim bisa demikian miskin. Itu karena mereka malas tidak rajin ibadat. Lihat saya yang rajin ibadat. Ini bukan bermaksud berbangga diri di depan kalian yang masih ingusan. Tapi terbukti, saya bisa berikan pendidikan untuk anak-anak saya karena saya bisa lebih sejahtera. Punya sawah dan berbagai harta dan cukup untuk saya membantu pendidikan anak-anak saya nanti." Tambah Guru Usman sambil betulkan kacamatanya, kemudian memasukkan tangan kanan ke dalam saku celana dan bersandar di pinggir meja salah satu muridnya yang duduk paling depan. "Jika sekarang orangtua Ramat dan Akim, kawan kalian ini dihina orang-orang, itu wajar sebagai resiko kemalasan mereka. Kalau mereka rajin pasti tidak akan sampai miskin demikian, untuk tempat tinggal saja harus menumpang sana sini. Itu pengaruh kemalasan. Kalian perhatikan saja 2 kawan kalian ini. Jika saya bicara begini mereka terhina, bukan saya yang menghina tetapi orantua mereka sendiri. Saya cuma ingin tunjukkan contoh terdekat pada kalian semua agar tidak sampai dihina seperti 2 anak ini." "Di mana-mana, anak-anak orang miskin itu pasti bandel, memiliki jiwa berandal. Kenapa itu terjadi? Jelas pertama sekali orangtuanya pasti tidak memiliki ilmu agama yang cukup. Mereka tidak tahu cara mendidik anak. Bagaimana mendidik anak jika dirinya sendiri tidak pernah bisa dididik. Kalau mereka bisa mendidik diri sendiri pasti mereka bisa didik anak. Sedang seperti keadaan seperti orangtua Ramat dan Akim, tidak ada yang bisa diharap. Anak-anaknya akan tumbuh bagaimana yang ia bisa, begitu saja. Nasibnya juga kelak tidak akan pernah lebih baik dari orangtuanya itu." Nyaris setiap ia masuk kelas, 2 bocah ini menjadi sasaran hinaan. Entah alasannya untuk apa, mungkin [caption id="attachment_146646" align="alignright" width="293" caption="Ramat, tulislah masa depanmu"][/caption] saja guru itu ingin memompa semangat muridnya yang lain? Entahlah, yang jelas 2 bocah ini kerap merasakan marah dengan wajah merah bertambah dengan hati yang resah dengan cara mengajar guru yang salah kaprah. Maka, setiap misal gurunya itu sakit atau karena apapun halangan sampai tidak bisa hadir ke kelas kedua anak miskin ini merasa begitu bersyukur, karena dengan demikian mereka tidak harus mendengarkan kalimat-kalimat penghinaan dari gurunya. "Saya kenal orangtua Ramat dan Akim sampai ke kakek neneknya, maka saya berani katakan orangtua dan anak itu memiliki nasib yang tidak jauh berbeda. Dulu, kakeknya Ramat sebagai contoh, cuma babu, cuma kuli di sawah-sawah orang. Kadang kalau sedang tidak musim seumula (musim tanam) paling-paling jadi kuli lagi di kebun-kebun karet orang atau kebun sawit.” “Kakeknya jadi kuli, orangtuanya Ramat sekarang juga jadi kuli. Kenapa bisa begitu, karena sudah dari sononya seperti itu. Tidak ada yang perlu diherankan. Saya katakan terus terang dan apa adanya dari sesuatu yang bisa kalian lihat agar kalian jangan memiliki nasib seperti Ramat dan Akim ini. Sekali lagi, coba lihat kelak, apakah mereka akan bisa lebih baik dari Bapaknya, saya sendiri tidak yakin." Guru ini memberi pelajaran yang tidak pernah diajarkan di mata kuliah Ilmu Pendidikan.  Maka kemudian yang terjadi seperti demikian. Ia tanpa perasaan bersalah memberikan kalimat-kalimat yang dikiranya sebagai kalimat wejangan yang berguna untuk muridnya. Sedikitpun tidak bisa dipertimbangkan seperti apakah perasaan kedua murid yang disepelekan didepan teman-temannya. Sedangkan Ramat dengan Akim, selalu tidak pernah bisa tegakkan kepala setiap guru tersebut masuk memberikan pelajaran agama dengan caranya itu. Padahal Ramat sering menjadi murid yang berprestasi. Berkali-kali terpilih menjadi ketua kelas, selain dia juga sering menjadi juara kelas. Jika disekolah Pak Hasan dan Pak Usman tidak menghargainya, di rumah juga ibunya tidak pernah menghargai prestasi anak ini. Jika di rumah, sekali waktu malah ia pernah dipukul di kepala dengan aweueuk bue (sendok nasi dari tempurung kelapa dengan gagang dari potongan batang pinang), sampai kepalanya bengkak. Itu terjadi sepulang dari mengambil hadiah dari kecamatan karena ia dengan 2 kawan kelasnya berhasil mendapatkan piala juara II Cerdas Cermat tingkat Kecamatan. Ibunya tahu ia mendapat hadiah uang dari sekolah, tetapi marah karena uang hadiah itu cuma diberikan setengah saja pada perempuan yang dipanggil Mak olehnya itu.

[1] Sirih, gambir dan kapur.

————- To be continued Tulisan ini adalah bagian dari Novel: Aku Laila, Bukan Cleopatra Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: Di sini dan di sini juga di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju. 23. Anak Lapar dan Perempuan Sangar. 24. Menelusuri Dada Laila 25. Perempuan Hitam 26. Gadis Desa Tanpa Sehelai Benang 27. Laila, Jadilah Hujan 28. Laila, Istri Bersama 29. Tak Perlu Kau Buka Pakaianmu, Laila 30. Perempuan Desa, Saat Basah 31. Darah Dosa Perempuan Desa. Also Published in: PEDESTRIAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun