Perampokan di Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu (3/9) terbilang paling fenomenal sepanjang 2016. Selain dilakukan di siang bolong, terjadi di kawasan yang memiliki pengamanan meyakinkan, dan Adhi John Suyadi sebagai salah satu pelaku adalah seorang sarjana dan kini sedang menempuh pascasarjana (S2), dan pelaku lainnya--Samadi--adalah seorang warga desa yang baru saja tiba di Jakarta.
Sederet kesimpulan itu saya dapatkan setelah menelusuri berbagai media daring, tetapi lebih dalam justru saya dapati dari JogloSemar.co--pantas saya sampaikan salut kepada media ini. Setidaknya, dari penelusuran itu bisa diketemukan berbagai sisi lain di balik perampokan yang menghebohkan pekan pertama September ini.
Sebut saja kenyataan bahwa Samadi, yang ternyata adalah seorang warga desa yang sejatinya masih lugu. Ia tak lagi memiliki orang tua, dan sehari-hari hidup bersama neneknya sekaligus melayani sang nenek yang sakit-sakitan.
Tak hanya itu, pelaku bernama Samadi ini terkenal di kampungnya sebagai orang yang baik baik saja. Dia tak banyak bicara, dan memiliki citra sebagai pemuda yang akrab dengan masjid dan rajin beribadah, selain juga memiliki jiwa kemanusiaan tinggi yang dibuktikan dengan kesediaannya menjaga neneknya.
Ya, ada sisi kontras di sini, antara sosok yang intelek yang justru memilih turun kelas menjadi bandit yang sejatinya tak butuh pendidikan tinggi, dengan seseorang yang memang tak berpendidikan.
Ada sebuah hubungan timpang antara yang terdidik dengan orang yang terbilang polos dan awalnya baik.Si terdidik tampak lihai dalam menerapkan asas manfaat, dalam bentuk memanfaatkan kepolosan untuk memuluskan sebuah rencana.
Apa yang terjadi kemudian, seorang nenek di desa meratapi cucunya harus berada di balik jeruji penjara.Sementara sang cucu sebelumnya telah menjadi tulang punggung yang sangat menentukan di sisa hidupnya.Kini, alih-alih nenek ini bisa menghabiskan hari tuanya dengan ketenangan, harus turut risau memikirkan cucu yang disayangi dan sangat menyayanginya.
Ketua RT 05, Doto Martono mengatakan sebenarnya dirinya dan beberapa warga sempat membujuk agar Samadi tidak usah ikut John ke Jakarta. Selain di rumah sudah punya kerjaan membantu shooting di hajatan, pertimbangan kondisi neneknya yang sudah tua dan tidak ada yang mengurus, adalah alasannya.
“Kami juga heran ada apa kok tiba-tiba dia mau saja diajak ke Jakarta. Enggak tahunya malah begini,” sebutnya (Sumber: JogloSemar.co)
Di sini saya menyayangkan aktor intelektual di balik sebuah upaya perampokan yang melecehkan pendidikannya sendiri, dengan melakukan sesuatu yang telah merugikan banyak orang--salah satunya nenek dari "partner in crime" yang dilibatkannya.
Ada banyak hal sederhana di balik perampokan itu. Sederhana yang betul-betul sederhana, bukan sekadar kiasan. Betapa orang-orang sederhana begitu mudah dimanfaatkan oleh orang yang tetap saja berpikir terlalu sederhana meski ia berpendidikan tinggi.
Dari berbagai pemberitaan disebutkan, Samadi yang berperan sebagai pembantu perampokan itu memang baru mengenal Jakarta, dan tiba pada Agustus lalu lewat ajakan Suyadi. Kemungkinan, dia sendiri tidak mengetahui jika alasan di balik ajakan itu adalah rencana perampokan.
Di sini, Samadi--jika benar latar belakang hidupnya seperti dikisahkan beberapa media- mungkin pantas dikatakan sebagai korban. Ia dimanfaatkan untuk hal yang tentu saja dia sendiri tak mendapatkan manfaat apa-apa.