Satu persatu pakaian itu tanggal. Jatuh ke lantai penuh debu. Dengan hati yang menderu [caption id="attachment_163803" align="alignright" width="152" caption="Seharusnya keindahan itu tidak sekedar bayang yang saat petang pulang iapun hilang (Gbr:neoegm.com)"][/caption] diamuk rindu.
***
Ini bukan catatan masa lalu, meski pernah tertulis dalam sejarah hidup manusia yang pernah hidup di masa dulu. Bukan pula pilu manusia lugu yang ragu bedakan warna batu dan langit biru. Atau cerita gadis pemalu yang biarkan diri berbalut lamunan sambil menunggu perjaka yang diam membatu. Bukan begitu, kita ingat perjalanan waktu saja yang enggan menunggu meski hanya seminggu, sewindu apalagi tahun yang tertulis dengan angka yang dibaca dengan akhiran ribu. Kenang masa lalu yang memang sudah berlalu tapi tak memberi makna walau sebesar debu. Tak memberi keyakinan meski cuma sekeras batu. Meski kita tahu, batu tidak sekeras karang yang dipukul ombak bertalu-talu namun tetap untuk setara itu saja kita hanya mengaku malu:"Aku menjadi benalu di dahan waktu, dan kalah keras dalam keyakinan walau hanya dibanding batu." Rindu itu, seharusnya lebih keras dari batu jika ia adalah hulu dari keyakinan. Ketiadaan keyakinan itu padahal kita tahu hanya membuat sekian ribu kesempatan demikian saja terus berlalu. Sebab waktu sama sekali tidak lugu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H