Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Catatan Pensil

24 Februari 2010   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_80564" align="alignleft" width="215" caption="Tulis saja, meski hanya dengan pensil kecil (Gbr: Google)"][/caption] Pena I Hanya menulis puisi-puisi tentang air selokan yang terletak bersisian dengan rumah. Terkadang selokan itu mampet. Sebagai bocah kecil berusia 12 tahun, mengambil inisiatif mengambil cangkul yang sudah tidak jelas bentuknya. Cangkul yang pernah terayun juga di sawah yang disewa Bapak. Meski kaki berlumur lumpur selokan, sebagian terpercik ke muka, menjijikkan. Tetapi saat melihat selokan itu mengalirkan air dari kamar mandi dengan lancar kembali, ada bangga menelusup, sejuk. Tidak lama kemudian, berlembar-lembar buku catatan sekolah berisi puisi tentang selokan, tentang air, tentang sawah dan tentang lumpur. Puisi itu tidak terkirim ke koran manapun, selain digunting, lalu di tempelkan di dinding-dinding kamar untuk dibaca sendiri. Atau, sesekali saat beberapa teman sekolah dan teman sepermainan berkunjung, merekalah yang menjadi pembaca. Selanjutnya, malah beberapa teman yang jauh lebih tua minta tolong,"bikinkan aku surat cinta." Aha, ketika itu aku menjadi tukang bikin surat cinta. Tetapi, aku sendiri termalu-malu saat harus berhadapan dengan teman-teman lawan jenis di sekolah. Pena II Sudah mulai bisa merasakan jatuh cinta saat usia sudah tertulis dengan angka 17 tahun. Kumis sudah mulai terlihat, sedikit lebih merasa bahwa sudah tercipta sebagai lelaki. Menulis beberapa puisi cinta tentang cinta yang memang terasakan oleh diri sendiri. Tidak lagi mencoba menulis dan membayangkan orang lain sebagai diri sendiri, saat mengalirkan kata dalam puisi. sesekali melihat-lihat, membuka-buka buku H.B Jassin: Tifa Penyair dan Daerahnya. Ketika itu terpikir, menjadi penyair itu indah dan kuasa memberi indah. Aha, ternyata aku sedang menjadikan diri sebagai sapi yang dipaksa untuk tidak melenguh, namun menarik bajak di sawah rasa dengan lumpur-lumpur kata yang belum jelas bentuk. Terus, puisi-puisi itu diminta teman untuk dibukukan. Tidak dijilid seperti halnya buku-buku penulis ternama. Tetapi justru hanya tertulis di buku-buku sekolah. Diminta mereka hanya sebagai kenang-kenangan. Katanya,"puisimu indah." "Biar ini menjadi kenang-kenangan untuk kita. Mana tahu kelak ketika kita sudah dewasa, kita tidak lagi berkesempatan untuk kembali bersua." Dan benar saja, ketika dewasa, aku menjadi lelaki yang keras kepala. Bahkan obsesi pernah menjadi berhala yang begitu memukau, sempat memberi risau dan galau. Pena III Mencoba menulis pemahaman tentang Tuhan. Bagaimana Tuhan melirik?Bagaimana Tuhan mendengar? Aha, Tuhan lebih kuasa membuat jatuh cinta. Kendati, aku mengakui pula masih kuasa jatuh cinta pada manusia. Aku tidak menjadi sufi yang bisa sepenuhnya hanya cinta pada Tuhan saja. Pena itu menjadi pena yang pernah beberapa kali patah. Kubuang selanjutnya kuambil saja pensil-pensil yang memang terlihat lebih mudah patah. Setidaknya lebih ringan untukku menjinjingnya. "Aku hanya menulis dengan pensil. Bisakah kau baca?" Tanyaku pada mereka di satu ketika. "Tidak terlalu jelas..." Keluh mereka "Tetapi bahkan Tuhan juga tidak terlihat sama sekali, bukan?" Tanyaku seraya menumbuhkan niat untuk membela diri. "Iya, aku tidak butuh Tuhan."Ujar mereka, beberapa. "Tuhan juga tidak butuh kita. Tetapi aku tidak ingin perdebatkan itu, engkau bisa membaca?" "Tidak aku tidak bisa membaca." "Oh, maaf jika aku mengajakmu untuk membaca tulisanku." Bandung, 240210

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun