Untuk memunculkan daun hijau, dedaunan yang menua harus dilepaskan.
Tidak ada kata-kata yang dikeluarkan oleh desau angin yang datang pelan, menarik beberapa dedaunan dari dahannya. Jatuh. Menyentuh tanah. Tidak ada teriakan ronta untuk marah atau bahkan memaki Tuhan karena ia harus lepas dari ketinggian pohon. Kukira bukan karena dedaunan itu tidak memiliki mulut maka ia ia tidak keluarkan gerutuan. Justru, tidak bermulut seperti halnya dimiliki manusia itu bukanlah kelebihan. Itu kekurangan. Kekurangan yang ternyata membuat selembar daun lebih memiliki harga dari selembar nyawa manusia. Nyawa yang kerap malah membuat manusia bisa bergerak, juga gerakkan lidah. Gerak yang tidak sebijak daun yang dihela angin dari pohonnya.
Sekian ciptaan Tuhan lain, dalam sekian keterbatasannya malah menjadi kelebihannya. Seperti daun itu, yang terlihat sederhana saja tetapi bisa tunjukkan 'sikap' yang tidak sederhana. Iya, kerelaan ketika harus kembali ke masa sebelum awal. Ke titik yang tidak pernah ia kenal. Titik saat ia tidak memiliki klorofil untuk mewarnainya. Saat ia tidak memiliki seutas urat yang menyatukannya dengan pohon tempat ia bergelayut menikmati desah manja angin.
Tanpa atribut fisik yang sebanyak manusia. Dibaca oleh sehelai daun sebagai kesempatan untuknya tidak membawa kerugian bagi siapa-siapa. Malah, ketika harus gugur pun, ia masih dedikasikan diri untuk lebih suburkan pohon yang pernah disinggahinya beberapa pekan. Ah, jadi tersindir untuk melihat diri sendiri. Jangan-jangan, saat hidup tidak bisa memberi faedah apa-apa untuk sekitar, apalagi sesudah mati.
Jakarta, 10 Des 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H