[caption id="attachment_80659" align="alignleft" width="283" caption="kebenaran tidak selalu menari hanya bersama nabi (Gbr: Google)"][/caption]
Kita berjalan di lantai papan yang mulai melapuk, kapan saja bisa ambruk. Sedang kita tetap saja kian jarang membungkuk dan menunduk.
Entah terbuat dari pohon apakah dulu papan yang sedang kita tapaki, hari ini tidak banyak dari kita yang memahami. Yang ada hanyalah sorot mata yang terus saja mengarah ke pintu rumah yang kita huni, saudaraku. Tidak tahu, saya sendiri juga belum begitu mengerti, kenapa mata ini hanya mau melihat ke depan selalu. Sehingga, dagu kita terlihat lebih tinggi dari yang seharusnya. Dada juga membusung lebih ke depan dari yang semestinya. Mungkin saja telapak kaki kita saja yang terlalu angkuh untuk bicara. Untuk katakan pada mata bahwa kondisi lantai rumah ini tidak terlalu kuat. Dia masih enggan katakan pada logika agar tidak hanya menujukan diri pada luas lantai dan ketinggian rumah. Mengajak engkau untuk keluar dari rumah beberapa jenak, aku khawatir kalian enggan. Karena mungkin di luar rumah terlalu penuh dengan lumpur. Karena memang ajakanku hanya uhntuk mengenal lebih terang seperti apa kelembaban tanah. Seperti apa aroma tanah saat sedang basah. Dan aku berharap sekali jika nanti kita sepakat untuk turun. Jangan ada sandal dan sepatu yang masih terkenakan. sebab sandal dan sepatu itu seringkali membuat rasa tertipu. Membuka pikiran tidak lagi kuasa membaca. Membuat mata tidak bisa dengan jernih melihat. Membuat jiwa tidak leluasa mengeja semua kebenaran yang sedang diajarkan alam. Sandal dan sepatu kita lebih sering membuat kita kehilangan kemampuan untuk mengeja. Silahkan berdalih,"mengeja tidak akan terhalang dengan sandal dan sepatu. Karena sepatu dan sandal itu tidak dipergunakan di area mata bertempat. Ia hanya berada di sisi paling bawah dari tubuh." Ah, kuakui, mungkin karena kita sudah merasa terlalu cerdas maka kemudian alasan yang kita miliki lebih kita percaya daripada kebenaran yang sebenarnya. Lantai yang kita pijak tidak lebih berusia lama dari tanah yang bisa kita pijak. Lantai ini hanyalah kayu dari pohon yang telah mati dengan terpaksa. Percaya pada kekuatan lantai itu saja, membuat kita lebih dulu mati sebelum sempat merasakan seperti apa keindahan masa kala usia telah senja. Hilangkan keyakinan dan kepercayaan itu. Yuk, kita melantai pada tanah lembab saja. Jika engkau takut kakimu akan terkotori saat tanah ini menjadi lumpur, menarilah terus di lantai papan yang lebih engkau percaya. Apalagi, ini bukan ajakan seorang Nabi tetapi hanya suara lelaki yang sedang mencoba mengeja diri. Bandung, 24022010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H