[caption id="attachment_126041" align="alignleft" width="202" caption="Semoga masih bisa menjadi bangsat yang sadar diri sebagai seorang bangsat"][/caption] Beruntung, senyum lepas masih bisa kualirkan dalam irama nafas yang keluar sembari terus melafalkan terima kasih dalam hamdallah. Betapa, hidup yang diberikan-Nya terlalu indah. Masih diberi kesempatan untuk melihat matahari yang merekah. Mencoba untuk terus tidak hanya menyebut-Nya sekedar di lidah. Tetapi beberapa jenak terpaku juga melihat manusia tanpa wajah. Berpura-pura merendah sedang keangkuhan menjadi madah. Menyebut diri tidak apa-apanya, sedang di hati merasa diri adalah segala-galanya. Mengatakan pada dunia bahwa ia hanya manusia biasa, tetapi dalam hati terus saja menjadikan diri sebagai berhala. Semua bisa terlihat, karena Tuhan pasti membuat yang tersembunyi menjadi terlihat kendati seribu muslihat diramu sebagai siasat.
***
Mata hati kian pekat karena merasa nyaman tertawa bersama bangsat. Pada saat yang sama, secara diam-diam lagi dan lagi memuja diri sebagai malaikat. Sehingga hati kian kesat. Ah, jika ternyata diriku saja yang mungkin sudah tercipta sebagai bangsat, semoga aku tidak pernah merasa diri sebagai malaikat. Dengan begitu aku tidak perlu berlama-lama mengenakan pakaian seorang bangsat, oleh kesadaran atas kelemahan diri yang selalu masih bisa terlihat. Hingga saat mati tidak perlu berbungkus kafan dari rupiah-rupiah yang terkumpul dari keringat bejat, dan bernisan bertuliskan tanda seorang penjilat.
***
Iya, inilah kebanggaan sekaligus harap seorang bangsat yang masih bisa melihat diri sebagai bangsat, dan terus mencoba tidak pernah menjadi bangsat yang diam-diam memuji diri sebagai malaikat. [ZA] Picture: Sources
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H