Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bencana: Lagu Indonesia Raya Membawa Kutukan (?)

9 November 2010   04:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:45 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari asap knalpot sampai asap merapi. Dari banjir darah sampai banjir bandang. Lihatlah, di sana justru kita bisa melihat manusia.

Iya, seperti salah satu lirik dalam lagu Indonesia Raya:"...Indonesia tanah tumpah darah," mungkin untuk menjawab doa yang dimasukkan ke dalam lagu kebangsaan itu, maka kemudian negeri ini menjadi tidak asing dengan korban bencana dengan semua bentuknya. Tidak asing dengan dengan darah yang tumpah sebagai bahasa lain dari sekian nyawa melayang. Tunggu, tapi kalau melihat dari lagu kebangsaan itu kan sebagai ekspresi bahwa untuk berdirinya negeri ini memang dulu telah begitu banyak pahlawan yang harus merelakan darah menetes dan nyawa merembes (sedikit penyebutan mengada-ada). Iya bisa jadi demikian. Tapi, dari kacamata keluguan yang paling mungkin saya pergunakan, jika bangsa ini menerjemahkan demikian, siapa bisa menjamin bahwa alam juga akan menerjemahkan seperti itu. Dan, kemudian siapa bisa pastikan kalau malaikat maut juga menafsirkan seperti halnya seperti yang kita kehendaki saat berbusung dada menyebut diri sebagai bangsa Indonesia?

Jadi, untuk mencegah terjadinya bencana, ubahlah lirik-lirik yang ada dalam lagu kebangsaan tersebut jika tidak cemas disebut konyol atau tolol. Disebut tolol juga toh bukan suatu hal yang harus ditakuti. Toh, kan ia bisa diubah menjadi tolol dadar sampai ke tolol matasapi (lho?).

Lha, padahal saya ingin katakan bahwa kalau negeri ini tidak perlu memakan tumbal, ada banyak hal yang harus diubah. Yang pertama, mengubah mata, mengubah hidung, mengubah telinga dan juga mengubah tangan. Mengubah mata dengan cara mencongkelnya terus kemudian diberikan ke itik tentu bukan langkah bijak, karena dua butir mata tidak akan membuat itik bisa lebih rajin bertelor.

Mengubah hidung dengan operasi plastik juga bukan sebuah solusi dan memang sama sekali tidak nyambung dengan soal bencana yang demikian masif terjadi sepanjang sejarah berdirinya Hindia Belanda menjadi Indonesia. Justru, kalau misal ada perempuan yang operasi plastik agar hidungnya terlihat bangir bukannya mencegah bencana tetapi malah mengundang bencana. Setidaknya bencana dalam rumah tangga seperti yang banyak diajarkan diam-diam oleh sekian banyak selebriti kita yang cantik-cantik. Merasa semakin cantik, suami orang pun tanpa perasaan bersalah juga diembat dengan alasan,"...cinta tak ada logika" seperti disentil Agnes Monica. Semakin ngawur bukan? Iya, kalau suka yang ngawur silahkan lanjut membacanya.

Selanjutnya, mungkin mengubah telinga selebar telinga gajah. Mengingat pengaruh global warming, bisa jadi telinga yang sebesar milik gajah bisa sekaligus berfungsi sebagai kipas. Mengingat pemakaian AC 'kan dipercaya kian membuat bumi semakin sekarat. Maaf, kembali semakin ngawur.

Terus, mengubah tangan. Iya kalau tertarik dengan iklan tivi dengan membeli produk lotion yang mahal-mahal agar bisa memiliki tangan sampai ke ketiak putih mulus seperti Rianti Cartwright itu, sepertinya Anda perlu diruwat. Karena dengan ruwat bisa membantu Anda melihat lebih baik, bahwa seleb yang satu itu memang dari sononya sudah berkulit demikian. Tidak perlu meniru-niru kok. Toh, tangan itu indah bukan dari indah dan tidaknya. Tapi, kan kita sepakati tangan rakyat Indonesia yang baik itu adalah tangan yang tidak suka usil kalau lagi di bis kalau Anda seorang kernek dengan menggerayangi milik bini orang. Tidak perlu meraba gadis-gadis lain setelah meraba uang negara yang ikut serta saat sedang memasukkan tangan ke kantong (saya sendiri juga kok makin tidak mengerti ke mana arah obrolan saya ini? Ya sudah jangan dibaca lagi).

Jakarta,9 November 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun