Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Atas Nama Berhala

25 April 2010   18:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_126662" align="alignleft" width="298" caption="Kita mati bukan untuk sia-sia, inilah risalah para ksatria (Gbr: wikimedia.org)"][/caption] Jika tanganmu terlalu kekar, kita memiliki tangan yang sama. Bilapun tanganku terlihat lebih kurus, tetap kusebut kekar karena ada baja-baja yang ditelusupkan Tuhan sebagai tulang di sana. Dan kita saling genggam, bukan untuk patahkan pepohonan rapuh yang akan runtuh hanya dengan tiupan kera-kera yang bergelayut. Tetapi untuk remukkan tiang-tiang yang terpancang di sela-sela bukit kehidupan yang membuat kita dan orang-orang di belakang kita terhalang untuk leluasa menikmati siraman matahari.

***

Tiang itu selama ini terlihat begitu kukuh berdiri, karena sudah diisi darah dan nyawa dari sekian banyak manusia yang mengira itu adalah altar untuk pengorbanan. Sebenarnya pengorbanan yang dimaksud tak lebih dari gurat-gurat angkuh, yang diangsurkan tangan yang kupastikan tak mengenal aroma peluh. Dalam busuk hatinya, berharap kita mati hanya dengan keluh. Sepanjang sejarah yang tak mesti sudah tercatat, tetapi juga yang dulu tak sempat tercatat. Tiang itu benar-benar masih terpancang, tidak runtuh dengan sabda para nabi. Sekarang, tidak berarti kita juga harus berhenti bicara. Bukan bicara hanya untuk tidak memubazirkan bahasa karena lama tak terpergunakan oleh kecewa, namun justru bicara yang bisa berubah menjadi mantera yang mampu membuat jera para peneriak tawa membahana di bukit-bukit angkara.

***

Jika tanganmu lembut serupa puteri raja yang tak pernah mengenal pisau dapur. Kau tidak perlu menggenggam tanganku jika terasa baja ini terasa terlalu keras. Tetapi, bisa kau usapkan ke wajah mereka hingga terbuai, terkulai sehingga hilang semua seringai. Tidur mereka saja sudah cukup, tanpa perlu membuat mereka terbunuh. Oleh karena kukira Tuhan memang tidak berkehendak untuk membuat mereka terbunuh, untuk dijadikan alat pengukur orang-orang yang pernah berikrar bersikukuh dalam kebaikan tanpa jenuh. Iya, kita tidak perlu menjadi pembunuh. Walaupun raut kukuh teguh menancap dalam, merasuk jauh ke seluruh tubuh dipandang sebagai pertanda angkuh. Tetaplah bergerak atas nama Tuhan, yang darinya kebenaran tanpa kegamangan mengalir dalam pesan-pesan. Tidak untuk diajarkan pada pemuja berhala, sebab mereka sudah begitu jatuh cinta pada aroma tinja. Tetapi, hanya untuk darah-darah saudara yang pernah berikrar sebagai ksatria tetap menggelegak untuk jalan-Nya saja, tak terbetik secuilpun di benak untuk berpaling. Agar kian yakin, bahwa kematian dalam tumpukan tinja-tinja di kaki berhala bukanlah kehormatan yang harus dipuja. Maka pertanyakan, setiap gerak dan dengus garang napasmu, atas nama siapa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun