Menjadi anjing tanpa belitan tali di leher dan bisa berlenggang kangkung di luar pagar-pagar rumah, terkadang tidak dikatakan sebagai seekor anjing yang bebas, sebagai penghargaan atas pilihannya untuk menjadi anjing tanpa ikatan. Justru, ia dikatakan sebagai anjing gelandangan. Tanpa reputasi. Tanpa harga diri. Selain mimpi dan bayang-bayang sekerat tulang.
Dan seperti itulah cerita yang dialami seekor anjing yang sedang bermain di tepi rel kereta api di sebuah kota mahasibuk. Dalam dungunya, anjing ini kerap diam-diam mengatakan pada diri sendiri bahwa kota ini lebih sibuk bahkan daripada Tuhan sekalipun. Juga kerap ia menyebut bahwa kota ini bisa lebih bengis dari iblis.
Memang, pernah ia percaya, ke kota mana saja ia melangkah, di sana ia akan ketemukan malaikat-malaikat Tuhan. Malaikat yang mungkin bisa berikan sayapnya untuk ia basuh, lalu diberi upah berupa beberapa kerat tulang meski hanya dengan sedikit daging yang masih tersisa. Tetapi malaikat yang sering dipuja-puja dalam berbagai cerita dongeng sebagai makhluk Tuhan yang begitu baik, ternyata juga merasa diri tidak tepat untuk menyerahkan sayapnya pada anjing sepertidirinya. Mungkin dikiranya memang lidah dan tubuh anjing ini semuanya tidak lebih dari najis.
Cuma, sejak ia ditendang dari sebuah rumah tanpa sebuah alasan yang kuat. Ia hanya kitari pikirannya pada kenangan, betapa seorang manusia bisa berikan senyumnya ketika ia masih percaya bahwa anjing ini bisa menjadi anjing yang baik dan lucu. Tetapi begitu dilihatnya bahwa seekora njing tidak pernah belajar drama, sehingga terus saja menunjukkan diri apa adanya maka sebuah sapu melayang ke badannya lengkap dengan ujung kaki yang mendarat di tubuh kurusnya.
Tk ada linang airmata, tak ada sedu sedan. Anjing itu melangkah ke luar pagar. Air mata dan sedu sedan tidak dibiarkannya terjadi karena ia melihat bahwa ia hanya seekor anjing.
"Tapi kau juga makhluk Tuhan bukan?" Seorang penjual koran tua seolah sedang berusaha sejukkan hatinya.
"Tuhan itu mahasuci, mahabaik, dan semua yang ada tetap saja suci dan baik, tidak layak untuk dihina!" Tegasnya lagi.
Tetapi anjing ini lebih suka dengan sadar mengatakan dirinya sebagai anjing saja, tidak berotak. Kalimat bijak tukang koran itu hanya ditimpalinya dengan,"aku hanya seekor anjing." Lalu arahkan pikirannya pada kereta api mana yang bakal dipilihnya untuk melindas tubuhnya yang kian kurus. Putus asa.
Jakarta, 3 Nov 10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H