[caption id="attachment_226491" align="alignleft" width="185" caption="Motor, yang tak sibuk dengan merek (Gbr: Nurulloh)"][/caption] Untuk melakukan sesuatu yang baik idealnya memang tidak perlu adanya hingar bingar. Apalagi kehingar-bingaran itu lebih membuka peluang mencuatnya keangkuhan, dan keangkuhan seringkali menjadi batu ganjalan keinginan berbuat baik bisa berujud sebagai kenyataan. Pun, logika alam itu sering bicara tegas bahwa untuk satu lobang jarum tidak bisa diloloskan dua ujung benang secara bersamaan sekaligus. Di Kompasiana, seorang lelaki muda bernama Nurulloh menggagas sebuah konsep yang tidak terlalu hingar bingar. Konsep menolong anak-anak kurang mampu untuk bisa melanjutkan pendidikannya. Pola yang diambil juga satu sisi mungkin tidak terlalu populis tetapi cukup mencerminkan sebuah dedikasi yang tegas saja jauh dari keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, apapun alasannya. Dalam salah satu penjelasannya di Page Facebook, Nurul menjelaskan tentang komunitas tersebut dengan;"(Komunitas Teplok) Sebuah Komunitas yang berisikan para pemuda yang keberadaannya di dedikasikan pada koridor pendidikan dan sosial. Awal perjalanannya adalah melakukan pemberian beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu untuk tetap dapat bersekolah. Sebagaimana kita tahu, bahwa pendidikan merupakan "state obligation" untuk menjamin setiap orang dapat menikmatinya. Namun disatu sisi masih terdapat kendala oleh sebagian saudara kita untuk mengeyam pendidikan..hal tersebut disebabkan karena kendala kondisi ekonomi yang tidak menjamin dan atau dikarenakan terpinggirkan secara sosial. Sederhana yang dilakukan Komunitas Teplok adalah dengan mendistribusikan "kotak" kepada tiap orang yang mau ikut bergabung. Lalu menyisihkan sebagian rezekinya ke dalam kotak dimaksud. Setiap bulan kotak yang telah didistribusikan akan dihimpun (jumputan) oleh Komunitas Teplok, yang isinya akan digunakan untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak yang telah didata. Sedikit yang kita berikan semoga dapat bermanfaat untuk sesama." [caption id="attachment_226501" align="alignright" width="300" caption="Ibu Pertiwi takkan mati dan akan tetap menjadi ibu, Nak (Gbr: googleimages)"][/caption] Sebuah cerminan dedikasi yang terasa sekali gurat ketulusannya. Jangan lupa ini digagas seorang pemuda yang belum seperempat abad usianya. Untuk beberapa capaian yang sudah diraih, Nurul menggambarkan komunitas yang dimobilisasinya itu,"Setelah Rizal (Ijong) pada tahun lalu dapat melanjutkan sekolahnya, kini, Ahmad Fakih (Vicky) juga dapat melanjutkan sekolahnya yang sempat putus hampir tiga tahun. Ijong dan Vicky adalah salah satu anak asuh Komunitas Teplok yang dapat melanjutkan akses pendidikan formal. Selain itu, ada sekitar enam orang anak lagi yang menjadi anak asuh Komunitas Teplok." Terlihat sederhana, tetapi Nurul sudah buktikan, kerja yang kecil tetapi ditekuni dengan tulus jauh lebih baik apalagi karena sudah menunjukkan buahnya. Dari hanya sekadar kerja besar yang hanya berhenti dalam tataran wacana saja. Tercenung. Menyimak kembali sosial blog seperti Kompasiana ini, dengan jumlah user puluhan ribu ikut berkontribusi lewat pemuda yang juga bergiat sebagai Admin Kompasiana tersebut. Sepertinya akan lebih banyak anak yang tertolong. Dan kemerdekaan, seyogyanya tidak melulu hanya diukur dari seberapa meriah upacara peringatan yang dilakukan, tetapi apa saja yang paling mungkin untuk dilakukan untuk sekian ribu anak negeri yang seharusnya mengecap bangku sekolah tetapi tak sedikit harus ikut berpikir mencari sejumput nasi. Masihkah kita peduli? Jakarta, 15 Agustus 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H