Membaca Tetralogi Pulau Buru yang dilukis oleh sosok Pramoedya Ananta Toer di bilik kecil sebuah penjara pulau tersebut dengan kata-kata yang sangat memikat, di sana, terketemukan kompleksitas cerita yang lumayan membuat kening mengerut. Ia bercerita tentang Minke sebagai tokoh utama dengan keluarga Nyai Ontosoroh. Kedua figur tersebut pula yang kerap diulas oleh pecinta tetralogi tersebut. Meski, jika memilah lagi, terdapat banyak tokoh lain yang juga menarik untuk dibidik, dan itu adalah sosok Jean Marais! Kenapa dengan Jean Marais? Siapa dia?
Iya, Jean adalah mantan serdadu yang dilukiskan Pram dalam Tetralogi Pulau Buru, tepatnya pada buku pertama Bumi Manusia sebagai pelukis yang berpemikiran mendalam.
Jean Marais memang berjiwa seniman lukis. Sebagai seorang Perancis, ia memiliki kemampuan untuk melukis banyak hal. Bahkan, Minke sebagai tokoh utama dalam tetralogi tersebut digambarkan pernah menjadi partnernya untuk mencari orderan lukisan dari orang-orang yang ia kenal.
Tetapi, sebagai pelukis ia tidak melulu menunjukkan diri sebagai pelukis saja yang hanya peduli pada pekerjaannya. Namun, ia juga menaruh kepedulian pada banyak hal; dari kondisi aktual yang terjadi di Hindia Belanda yang kemudian menjadi negara Indonesia di jelang akhir abad ke-20.
Beberapa hal yang ia bidik adalah persoalan ke mana seorang penulis harus arahkan mata penanya? Apakah ke Belanda yang notabene sebagai penjajah ataukah pada masyarakat Hindia Belanda yang seyogianya dimulai dengan pergunakan bahasa Melayu. Pilihan demikian menjadi perdebatannya dengan karibnya, Minke yang kerap menulis dengan bahasa Belanda, apalagi karena tokoh utama itu lulusan HBS.
Di luar itu, ia adalah seorang serdadu Belanda yang merutuk kegoblokan Belanda yang menurutnya menghabiskan uang banyak untuk menaklukkan Aceh. Dan ia menyesal ikut menjadi penyerang Aceh yang di sana ia terpaksa alami kecelakaan hingga satu kakinya harus diamputasi setelah terkena ranjau. Terlebih, ia meratapi kekasihnya perempuan Aceh yang memberinya seorang anak bernama Maysaroh. Perempuan yang kemudian mati di tangan adik kandungnya sendiri karena tuduhan membela kaphe-kaphe Belanda.
(BELUM SELESAI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H