Di tengah hari seperti ini, Stasiun Tanah Abang yang biasanya lekat dengan keramaian yang seolah tanpa henti, justru terlihat lebih sepi. Petugas keamanan tak terlihat terlalu tertekan dibandingkan saat peron dipenuhi penumpang yang turun naik. Mereka mungkin sedikit terbeban hanya dengan seragam di badan, lantaran suhu Jakarta sedang panas-panasnya, dan pakaian dikenakan terasa terlalu tebal.
Anak-anak tangga di stasiun yang sudah menjelang usia 124 tahun itu lebih lengang dibandingkan biasanya. Tapi, lengang di Tanah Abang pastinya tidak seperti gedung kosong yang benar-benar ditinggal penghuni. Tetap masih ada banyak orang datang atau pulang, lalu kembali lengang.
Stasiun ini memang tidak akan pernah benar-benar sepi, kecuali tukang jual kopi di bagian luar yang tak jauh dari pintu keluar masuk. Sepi begitu bisa menjadi beban tersendiri baginya yang sesekali menatap dengan harap akan ada orang yang datang memesan kopi sachet yang cuma seharga 5 ribu dan disajikan dengan gelas plastik.
Dari penjual kopi, pedagang pakaian, hingga pedagang apa saja memang kerap bepergian hingga menggantungkan hidup dari stasiun yang telah berdiri dari tahun 1899 ini. Apalagi memang stasiun ini berada persis di sisi pusat grosir terbesar di Asia Tenggara.Â
Di stasiun ini juga tak jarang siapa pun bisa bersua dengan orang dari negara tetangga atau bahkan wisatawan dari negara-negara Eropa.
Tak pelak, Tanah Abang ini menjadi stasiun yang juga menjembatani geliat ekonomi hingga pariwisata. Bahkan bisa dipastikan, sebagian besar penggunanya tidak lepas dari kepentingan ekonomi; untuk bekerja, mencari nafkah, dan menghidupi ratusan ribu keluarga.
Jadi, di balik rupa-rupa pemandangan di Tanah Abang, tempat ini juga menjadi tempat terpenting untuk pejuang rupiah, untuk mencari nafkah tanpa peduli soal lelah. Maka itu, di dalamnya akan gampang saja bersua masyarakat Badui yang datang dari Lebak, Banten, atau ibu-ibu pedagang kaki lima yang menggendong bungkusan dagangan yang terkadang lebih besar dari tubuh mereka.
Namun pemandangan-pemandangan seperti inilah yang bikin Stasiun Tanah Abang selalu menarik. Stasiun ini, jika diibaratkan cerita, maka ia adalah cerita tentang orang-orang berjuang, yang mau jatuh bangun dan terus mau bergerak tanpa membiarkan diri berlama-lama larut dalam perasaan terjatuh.
Setiap kali melihat orang-orang mengayunkan langkah di sini, maka akan terasa adanya gairah dari setiap ayunan langkah itu. Gairah atas hidup yang pasti akan merekah buat mereka yang tak takut untuk berlelah-lelah, dan tak mau menenggelamkan diri dalam keluh kesah.Â
Salah satunya adalah Farchan Noor Rachman. Ia adalah pengguna setia Commuterline atau KRL, untuk berangkat bekerja atau ke kampus tempat ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi.