Siapa saja bisa menjadi sasaran serangan buzzer. Sebab memang ada di antaranya yang bekerja untuk membungkam, mengintimidasi, hingga menghancurkan.
Dalam kasus saya pribadi, kantor media tempat saya bekerja terpaksa "bersandiwara" bahwa saya dipecat, demi menghentikan buzzer. Saya masih bisa bekerja dengan status anonim. Walaupun akhirnya saya sendiri memilih keluar juga dari media yang sudah lima tahun jadi tempat mengabdi.Â
Ini hanya satu dari kekuatan buzzer. Bisa menghancurkan siapa saja, sepanjang mereka punya "trigger" yang bisa dimainkan dan bisa memantik emosi banyak orang.
Namun, itu dari sisi kekuatan negatif.Â
Positifnya, buzzer sejatinya masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang memang baik. Entah untuk berbicara tentang jalan yang rusak, misalnya, agar bisa segera ditangani pihak berwenang. Bisa juga untuk membantu mengangkat usaha pedagang kecil agar tetap bisa hidup.Â
Masalahnya, sebagian pengguna internet dan media sosial, terutama, belakangan tergiring untuk melabeli buzzer sebagai sesuatu yang mutlak negatif.Â
Semestinya yang perlu diupayakan justru bagaimana melihat tren buzzer ini lebih objektif dan holistik. Ini juga yang sempat saya tegaskan di bincang-bincang KompasTV.
Ringkasnya, buzzer bukan sesuatu yang mesti ditakuti. Bahwa ada fakta negatif seperti yang pernah menimpa saya, namun ini tidak bisa menjadi alasan bahwa semua aktivitas buzzer adalah negatif.
Kenapa? Sebab, bagaimanapun ada manusia di balik tren buzzer ini, dan di balik akun-akun media sosial. Jadi, yang perlu disentuh adalah manusianya, supaya kegiatan "nge-buzz" bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat.Â
Pihak media yang belakangan ikut memvonis buzzer sebagai pengganggu jurnalisme, saat ini perlu menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan para "buzzer" yang dicap berkasta rendah.
Mereka perlu belajar untuk tidak menganggap normal berita-berita dengan judul "clickbait", dan tidak menempatkan lagi konsumen berita di posisi pasif.Â