Di tengah tren gelar wicara tadi, dengan banyak figur yang berlaga di arena debat, jika Najwa bisa tampil bak pendekar wanita yang memiliki pedang tajam di lidah dan pikirannya (dan juga matanya, tentunya), Karni lebih terlihat sebagai pendekar sepuh yang bisa membuat orang diam atau bahkan lumpuh tanpa ia perlu banyak bergerak.
Najwa memang mirip pendekar yang lincah, entah dalam menghindari cecaran balik dari narasumbernya atau memburu jawaban pembicara. Sedangkan Karni bisalah dibilang agak mirip dengan bintang laga yang menguasai bela diri Aikido, Steven Seagal.
Gerakannya tenang, terlihat tidak terlalu boros dalam membuang tenaga, namun ia bisa membagi "kartu-kartu" yang mesti dimainkan pembicara di depannya, dan membuat para pemain saling beradu jurus, pikiran, tenaga, dan berjibaku di sana.Â
Soal apa yang bisa diambil pendengar, tampaknya, baik Najwa atau Karni, sama-sama meyakini begitu saja bahwa hanya pendengar cerdas atau kalangan terdidik yang menjadi pemirsa acara-acara mereka. Lagi pula, jika menyimak tema dan pemateri mereka tampilkan, terlihat acara-acara mereka memang bukan untuk konsumsi masyarakat "terbatas" dalam hal intelektualitas dan sejenisnya.
Namun tentu saja mereka tidak membatasi begitu rupa, sehingga siapa saja yang memiliki cukup waktu dapat menikmati tayangan mereka selama berjam-jam. Kalangan manapun, monggo.Â
Bukan persoalan, lantaran bagi kalangan non-kampus atau yang tidak pernah mengecap bangku kuliah pun sejatinya dapat menjadikan suguhan di acara mereka untuk menambah wawasan, memiliki model pola pikir, hingga memperkaya sudut pandang.Â
Baru jadi persoalan, ketika pemirsa acara-acara mereka adalah kelompok yang belum terbiasa dengan perbedaan pendapat dan pandangan. Sebab, alih-alih melahirkan diskusi-diskusi yang positif seputar apa yang didiskusikan, justru melahirkan perdebatan yang tidak jelas arah dan tujuan. Di mana bisa menyimak potret semacam ini? Ya, di media sosial.Â
Di sinilah keberadaan Rocky Gerung akhirnya terlihat berperan. Ia cukup berani, mungkin juga lancang, dengan pikiran-pikirannya. Bahkan ia tidak peduli, isi pikirannya akan sampai ke mana saja, dan akan berakibat apa saja. Alhasil, di balik pikiran-pikiran hebatnya (setidaknya menurut pengakuannya sendiri) yang menjadi hasilnya justru pertikaian di tengah publik.Â
Apakah itu kesalahan seorang Rocky? Tidak bisa juga divonis begitu. Namun ia memang turut andil sebagai pemantik atas apa yang terjadi. Entah di media sosial terlihat publik saling maki dan menghujat, atmosfer yang muncul justru memanas, Rocky akan tetap muncul dan selalu muncul di acaranya Karni atau di berbagai stasiun TV.
Saat figur-figur seperti Najwa dan Karni bersikukuh dengan misi pencerahan publik, Rocky acap datang membawa mendung. Tidak cuma bikin pemirsa acap gelap mata hingga memamerkan siapa yang paling tega dalam beradu kata-kata, namun juga melahirkan tren yang keluar jauh dari tujuan sebuah talk show, eh gelar wicara.Â
Ya, katakanlah gelar wicara memang bagian dari dunia showbiz atau industri hiburan, karena tampil di TV dan menjadi jalan untuk datangnya banyak iklan. Namun untuk gelar wicara semacam dibesut Najwa atau Karni, mestinya berada di tempat jauh di atas hiburan.Â