Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Bebas Golput dan Ancaman Kebebasan Terenggut

25 Maret 2019   21:32 Diperbarui: 26 Maret 2019   16:39 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi golput. (Kontan/Andra Surya)

Urusan coblos-mencoblos memang tidak segampang mengambil paku dan menusukkan ke calon atau partai yang mau dipilih di bilik suara. Banyak yang harus bergulat dulu dengan keresahan, kekecewaan, kegalauan, hingga kemalasan. Pergulatan ini sama sekali tidak mudah, hingga banyak cerita di mana calon pemilih acap memilih untuk tidak memilih.

Beberapa kenalan, terutama di linimasa media sosial, tak sedikit yang bahkan memamerkan pilihan sikap mereka yang memilih untuk tidak memilih. Dalam demokrasi, sikap ini sah-sah saja. Masalahnya, apakah sikap ini akan menguntungkan mereka yang tidak memilih? 

Di sinilah pertanyaannya. Bukan jawabannya. 

Kalau saja pilihan untuk tidak memilih bisa menjadi jawaban, tak ada yang harus meninggalkan pekerjaan dan kesibukan pribadi untuk repot-repot menuju lokasi bilik suara. Tinggal diam dan membiarkan saja yang terjadi biarlah terjadi. 

Di sini juga yang acap menjadi perdebatan, yang memilih untuk menolak memilih bertarung untuk mempertahankan pendapatnya untuk tidak memilih. Di pihak lain ada juga yang menentang mereka, dan tak sedikit yang menghakimi mereka. 

Jika dulu perdebatan itu lebih sering muncul di media massa, belakangan ini muncul di media sosial. Di sini juga berlangsung pergulatan seputar itu, dari yang sekadar menegaskan belum adanya keputusan, hingga yang memutuskan memang dengan segenap jiwa raga tidak akan memilih.

Namun memvonis bahwa mereka yang enggan atau tidak mau memilih tidak punya hak apa-apa setelah pemilihan berlangsung, rasanya juga tidak elok. Sebab, sebagaimana celetukan di linimasa, "Kami juga membayar pajak, kami juga punya hak sebagai warga negara umumnya!"

Nah, kalau begini mau gimana, cuk?

Sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri mencatat bahwa ada kecenderungan kalangan yang memilih untuk tidak memilih atau golongan putih (golput) akan meningkat. 

Namun melonjaknya "ancaman" golput ini ternyata menemui titik balik, dalam arti lebih tinggi dibandingkan masa-masa sebelumnya, justru setelah reformasi bergulir. Ada catatan, pada Pemilu 2009, mereka yang memilih golput mencapai 29,1 persen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun