Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ngapain Ngurus Agama Capres?

1 Maret 2019   21:16 Diperbarui: 2 Maret 2019   15:08 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri dengan para pemuka agama yang selama ini membawa warna dalam politik Indonesia - Foto: Reuters

Salah satu celotehan yang sering singgah di akun media sosial adalah pertanyaan ini, "Ngapain ngurus agama capres?" Terlebih saat beberapa kali saya sendiri pun turut nimbrung di tagar-tagar semisal #PrabowoJumatanDiMana dan #PrabowoKebaktianDiMana, tanda tanya seperti itulah yang kerap saya temukan.

Ya, itu bukan pertanyaan iseng. Kalau berbicara objektif, itu justru pertanyaan yang bagus. Sebab memang seharusnya terlepas seseorang beragama apa saja, yang terpenting adalah seberapa baik dia mengaktualisasikan nilai-nilai agamanya ke dalam kepemimpinannya.

Terlebih lagi jika meyakini bahwa agama memiliki tujuan supaya manusia bisa berada di titik tertinggi kemanusiaan. Sebagai titik paling dekat dengan Yang Mahatinggi. Paling tidak, menilik teologi atau setidaknya filosofi yang ada di berbagai agama, ke sanalah arah dari semua agama tersebut.

Jadi, semestinya, apa agama seorang calon pemimpin bukanlah sebuah persoalan. 

Namun ada juga yang menarik dari ulasan Prof. Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dalam artikelnya di Koran Sindo (30 Desember 2016). Menurutnya, memang di kalangan publik, ada semacam kegamangan dalam menetapkan batas di mana dan sampai mana saja urusan agama pantas ditonjolkan. 

Dalam ranah pribadi dan keluarga, bisa saja seseorang menempatkan hukum agama paling tinggi. Tapi begitu seseorang masuk jalan raya, hukum negara yang berkuasa, polisi sebagai pengawasnya. Begitu kata Prof. Komar--sapaan beliau.

Di sisi lain, Komar juga menyorot pemandangan bagaimana dalam kehidupan sosial, wacana keagamaan akhir-akhir ini semakin memenuhi ruang publik. Ia menyebutkan bagaimana wacara itu memenuhi mimbar televisi, ceramah-ceramah, dan media sosial (medsos) berbasis internet. Orang pun merasa paling akrab dengan medsos sehingga penggunanya mengalami perkembangan luar biasa.

Namun ia juga sangat menyayangkan banyak wacana dan acara keagamaan namun isinya justru provokatif, sampah, bahkan ada yang berimplikasi memecah-belah persahabatan. "Terutama ketika agama dikaitkan dengan aspirasi pilihan-pilihan politik, lalu menjadi sulit dibedakan antara medsos yang berisi siraman rohani, pencerahan iman, perluasan ilmu dan provokasi politik," kata Prof. Komar di artikelnya itu.

Cukup dipahami, bahwa tren yang berhubungan dengan pencapresan pun takkan jauh-jauh dari pemandangan itu. Faktanya, petahana Joko Widodo harus berjibaku dengan isu-isu yang berhubungan dengan agama. 

Untungnya, Jokowi memiliki pendukung dari kalangan Nahdhatul Ulama dan sebagian dari kalangan Muhammadiyah. Setidaknya itu dapat dilihat dari keberadaan Kyai Ma'ruf Amin sebagai calon presiden pilihannya. Selain juga ada beberapa tokoh Muhammadiyah yang jadi penasihat beliau, seperti Prof. Syafii Ma'arif yang juga pernah memimpin organisasi yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun