Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Belajar Jadi Oposisi kepada Megawati

7 Januari 2019   18:07 Diperbarui: 7 Januari 2019   18:26 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara partai politik yang pernah berperan sebagai oposisi, manakah partai terbaik dalam menjalankan peran mereka sebagai oposisi?

Catatan ini sebelumnya memang juga saya tayangkan di salah satu situs lainnya. Mempertimbangkan bahwa pesan dari artikel ini punya potensi memberikan percikan api inspirasi lebih luas, jadi saya tayangkan juga lagi di sini.

Balik ke pertanyaan tadi. Pertanyaan itu bisa jadi akan berujung jawaban relatif. Namun jika merujuk ke catatan sejarah, Partai Demokrasi Indonesia yang kini dikenal dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), saya pikir menjadi partai yang memang pantas disebut sebagai pemeran oposisi terbaik.

Kenapa begitu?

Alasan paling dekat karena merekalah yang paling lama berperan sebagai oposisi. Selain itu, mereka juga yang pernah berdarah-darah dalam menjalankan peran sebagai oposisi.

Bahkan jika membandingkan dengan oposisi sekarang, tega tidak tega, dapat dikatakan bahwa oposisi hari ini hanyalah sederet partai dengan sederet tokoh yang lebih cocok jadi pemeran sinetron haru biru dan penuh tangisan. Ringkasnya, lebih tepat jadi pemeran sinetron air mata, daripada berkiprah di dunia politik.

Soal ini bisa ditanyakan langsung kepada Megawati Soekarnoputri sebagai otak PDIP, atau Hasto Kristiyanto yang kini menjadi Sekretaris Jenderal partai tersebut.

Jika tidak, tanyakanlah kepada mereka yang hari ini berstatus sebagai kader PDIP, atau jika sempat tanyakan kepada siapa saja yang pernah menghabiskan waktu lama di partai tersebut.

Atau, kalau ingin merujuk buku, maka buku seperti "Megawati dalam Catatan Wartawan: Menangis & Tertawa Bersama Rakyat" yang rilis pada 2015.

Di buku itu ada banyak pandangan dan catatan tentang bagaimana perjalanan seorang perempuan dalam memimpin sebuah partai, yang harus berada di seberang Pemerintahan Soeharto yang terkenal bertangan besi. Bukan catatan "kalangan sendiri" seperti kegemaran beberapa partai lain. Buku tersebut adalah catatan
dari para wartawan yang umumnya tidak berstatus sebagai kader partai tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun