Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nunggu Pak Bowo Gak Buang "Sampah" Sembarangan

4 Januari 2019   20:53 Diperbarui: 4 Januari 2019   21:04 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyampahi pikiran juga menjadi penghinaan bagi publik - Foto: Tribunnews.com

Sekadar mencuri perhatian publik tampaknya memang sebegitu penting dalam urusan politik. Tak jarang mereka harus melakukan sesuatu trik menyulap segala sesuatu hanya demi terlihat menarik. Inilah yang bikin saya tergelitik, dan memilih mengetik.

Mengetik. Bukan menulis. Sebab alih-alih berpikir keras, saya lebih tertarik pada apa yang terbetik di pikiran yang tergelitik. Bahwa masih ada saja yang meyakini bahwa berbohong secara telanjang menjadi cara yang sangat ampuh untuk membetot perhatian publik. 

Jadi, saya memilih mengetik apa saja yang terbetik atau sesuatu yang bikin saya tergelitik. 

Tidak habis pikir, saat orang-orang berusaha melakukan sesuatu yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang berbeda, masih ada yang memilih melakukan cara yang sama untuk meraih hasil berbeda.

Ya, sekelebat kalimat itu saya ketik sambil membayangkan telunjuk saya sedang mengarah ke muka sepasang tokoh publik yang tampaknya kian "kebelet" ingin menjadi penguasa. Siapa lagi kalau bukan Pak Bowo dan Pak Sandi. Dua makhluk Tuhan yang makin ke sini makin penuh dagelan.

Lupakan dulu soal kubu-kubuan. Walaupun kalian yang membaca ini ingin sekali menyumpahi saya sebagai cebong atau apalah, tetapi coba lihat lagi, apakah dagelan demi dagelan mereka pamerkan bukan pelecehan?

Pak Bowo ndagel dengan melecehkan nama sebuah rumah sakit dengan menuduh satu alat kesehatan yang semestinya dipakai satu orang justru dipakai puluhan orang. Ia bukan saja melecehkan rumah sakit itu sebagai sebuah korporasi, tetapi juga nalar publik yang ia nodai.

Bagaimana ia tanpa merasa berdosa melemparkan sebuah dugaan asal-asalan dan belakangan diketahui hanya sebuah isapan jempol belaka. Seolah jutaan kepala di republik yang ingin sekali dikuasainya ini hanyalah tong sampah yang pasrah dijejali sampah. 

Sampah! Apa yang dilemparkannya, mau tidak mau harus dikatakan sebagai sampah! (Maaf, pakai tanda seru, biar sedikit bau-bau gaya pidato Pak Bowo main pukul-pukul meja). 

Apa ia tidak berpikir bahwa sampah yang dilemparkannya ke kepala masyarakat akan mengotori isi kepala, dan akan banyak isi kepala yang bakal menyampahi negeri yang menurut sesumbarnya ingin dibawa ke arah yang jauh lebih baik ini? Jika isi kepala dipenuhi sampah berselemak di negeri ini, apakah bisa berharap negara ini akan memiliki nama yang harum, seperti ungkapan-ungkapan yang juga sering jadi sesumbarnya?

Sampah!

Sebagai salah satu masyarakat di negeri ini, mau tidak mau harus turut menegaskan, pemburu istana yang satu ini keterlaluan dalam membuang sampah. Sampai-sampai saya sempat ikut-ikutan ingin menduga-duga seperti kebiasaannya: "Apa ini karena memang jangan-jangan kepalanya sendiri dipenuhi sampah sehingga yang dikeluarkannya pun hanya sampah?"

Namun buru-buru saya tepis. Berusaha berpikir positif saja, bahwa sebagai manusia, dalam sisi buruk yang dipamerkan, bisa jadi ada sisi baik yang masih tersimpan. Dalam begitu banyak sampah yang ditebarkan, boleh jadi masih ada niat baik untuk membawa pesan bahwa sampah memang bukan untuk didekati atau diakrabi. Tapi, untuk dibuang sejauh-jauhnya. Lempar ia ke tempatnya: tempat sampah!

Lah, tapi kalau begini bukannya saya sedang menghinanya? Di sini salah saya, sih. Cuma terpikir juga, kenapa pula mesti pusing-pusing untuk bersopan-sopan membicarakan orang yang terlalu menikmati puja-puji dari kalangan sendiri meski miskin prestasi, hingga ia sendiri terlupa sudah sekian kali menyampahi pikiran banyak orang dengan sampah dikeluarkan lewat mulutnya.

Lagipula orang-orang yang selama ini berada di lingkarannya pun alih-alih memberikan masukan kepadanya untuk bisa lebih baik dalam menghormat nalar publik, justru mencari-cari pembenaran. Bahkan ada kecenderungan mereka memainkan narasi, "Bahwa sampah yang dibuang Pak Bowo itu masih bisa berubah jadi vitamin."

Kemarin, salah satu andalan Pak Bowo yang setia menjilat apa saja yang sudah diludahinya ke muka publik, Faldo Maldini, juga terlihat berusaha melakukan pembelaan setelah kebohongan ke sekian dilemparkan mantan menantu Pak Harto itu.

Penguasa yg paranoid dengan hoax adalah rezim yang memang tidak dipercaya oleh publik. Harusnya, tidak perlu takut karena punya semua alat pengungkap fakta. Sebuah catatan kecil perjalanan ke Dapil Kab. Bogor hari ini, setelah membaca buku "Trust" karya Francis Fukuyama.

Di tengah aroma sampah yang tidak henti-hentinya ditebar majikannya, alih-alih meminta maaf sudah menyampahi pikiran publik, justru lagi-lagi ingin buang badan. Ingin menunjukkan bahwa apa saja mereka lakukan adalah suci tanpa dosa. Sebab dosa hanya milik siapa saja yang menjadi lawan mereka. 

Sempat saya layangkan protes via twitter sebab ia menuliskan itu lewat twitter. Apalagi, mau saya pakai friendster, sayangnya sudah tidak ada lagi.

"Demi propaganda politik tidak perlu juga menularkan kepicikan sesampah ini, @FaldoMaldini. Sama saja Anda membagi sampah untuk publik demi politik. Semua yang memilih waras pasti melawan hoax. Tidak melulu pemerintah saja." 

Ini bukan soal saya sendiri berada di kubu mana, dan bukan juga soal saya melawan siapa. Ini melawan aksi-aksi keji yang bersentuhan langsung dengan sesuatu yang berharga pada manusia: akal dan pikiran.

Kebohongan demi kebohongan yang dipaksakan untuk terlihat sebagai kebenaran, memang ibarat menipu orang dengan mengatakan sampah sebagai penguat yang bisa membuat Anda sehat dan kuat. Kecenderungan inilah yang mesti dilawan. 

Syukur-syukur karena mereka memang belum berkuasa. Sebab jika sebelum berkuasa saja mereka sudah begitu gamblangnya "membuang sampah sembarangan" bagaimana bisa meyakini bahwa kelak mereka takkan melakukan itu jika berkuasa. Tidak ada jaminan.

Tanpa kekuasaan, para pembuang sampah sudah semena-mena terhadap sesuatu yang sangat berharga bagi sebuah bangsa yang juga sesama manusia: akal dan pikiran. Jika sesuatu yang sangat berharga ini terus menerus dilecehkan sambil tertawa-tawa, tanpa ada yang mengadangnya, bukan tidak mungkin juga sambil tertawa-tawa kelak mereka membuat rakyat menangis. Kalau saja mereka berkuasa.

Inilah kenapa juga, saya pribadi memilih semakin kencang menentang kebiasaan mereka membuang "sampah" sembarangan di negeri ini. Sebab saya pribadi tidak ingin negeri seindah ini dibuat serendah sampah oleh mereka tak kenal henti memamerkan perilaku sampah! Sudah!

Saya bukan marah. Hanya ngedumel, karena baru kali ini melihat ada yang ndagel dengan sampah yang paling berbahaya. Sebab sampah yang mereka tebar itu hanya akan menciptakan mental-mental sampah. Sebab dari sinilah terciptanya manusia sampah. Saya salah satu yang tidak menginginkan negeri ini disulap mereka menjadi sampah.

Jadi, Pak Bowo dan Pak Sandi, kalaupun selama ini Anda terbiasa menggunakan jasa pembantu rumah tangga untuk membuang sampah di rumah Anda, ayolah Anda juga bisa belajar dari mereka untuk tidak membuang sampah sembarangan. Makasih! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun